Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (
BPK) masih butuh waktu untuk mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat yang diserahkan oleh
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), termasuk Dana Bagi Hasil (DBH) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ditagih Gubernur
Anies Baswedan. Sebab, proses audit terkendala skema kerja dari rumah (
work from home/ ) di tengah penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19.
Sebelumnya, Anies meminta Kementerian Keuangan segera membayar utang sebesar Rp5,1 triliun kepada Pemprov DKI. Kementerian Keuangan menyatakan utang itu merupakan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam pelaksanaan APBN 2019, namun pengembaliannya perlu menunggu hasil audit BPK.
Anggota sekaligus Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VI BPK Harry Azhar Azis mengatakan sesuai ketentuan perundang-undangan, waktu pemeriksaan audit berlangsung selama dua bulan setelah laporan keuangan diberikan oleh pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat diberi waktu menyampaikan laporan keuangan sampai tiga bulan setelah selesai pelaksanaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, pemerintah pusat memiliki tenggat waktu penyampaian laporan keuangan APBN 2019 ke BPK sampai Maret 2020. Sedangkan tenggat waktu BPK untuk menyelesaikannya sampai Mei 2020.
Sementara, Harry mencatat, pemerintah pusat baru menyampaikan laporannya pada 27 Maret lalu, maka dalam waktu normal hasil audit baru selesai pada 27 Mei 2020. Dengan begitu, pengembalian dana baru bisa dilakukan selepas hasil audit.
"Pemerintah pusat menyerahkan laporan ke BPK pada 27 Maret 2020, berarti dalam waktu normal seharusnya 27 Mei 2020 (selesai audit)," ungkap Harry kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (3/4).
Bila DBH yang ditagihkan Anies masuk dalam penyelenggaraan APBN 2019, maka mau tidak mau anggarannya baru cair selepas waktu normal pelaksanaan audit. Kendati begitu, saat ini seluruh kementerian/lembaga diharuskan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk melangsungkan kerja dari rumah.
Kebijakan kerja dari rumah setidaknya berlaku sampai 21 April 2020. Hal ini, sambungnya, membuat proses kerja cukup terhambat, termasuk audit laporan keuangan.
Pasalnya, BPK perlu melakukan tahapan pemeriksaan bukti fisik dokumen, wawancara ke kementerian yang bersangkutan mengenai validitas penggunaan anggaran, dan lainnya. Sementara bila mengikuti instruksi tersebut, maka proses pemeriksaan baru bisa dilanjut setelah 21 April 2020 dan estimasi penyelesaian hasil audit bisa mundur dari ketentuan awal.
"Di masa sekarang ini, tenggat waktu ini agak sulit, kami tidak bisa mengonfirmasi dan cek fisik. Kalau ini tidak dilakukan, nanti indikator keyakinan memadainya tidak terpenuhi, dampak lain nanti hasil opini bisa berubah juga," jelasnya.
Lebih lanjut, Harry mengatakan sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan bila kondisi mendesak.
Pertama, membiarkan hasil audit laporan keuangan tetap diselesaikan sesegera mungkin dengan skema penyertaan sangkalan (
disclaimer).
"Karena kami tidak bisa mendapatkan informasi dan konfirmasi, tapi nanti opini pasti berubah," tuturnya.
Kedua, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan lain untuk mempercepat pengembalian DBH kepada daerah. Misalnya, dengan turut menyertakan wewenang itu ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
"Pemerintah kan sudah buat perppu, jadi mungkin bisa menggunakan perppu itu saja bekerjanya. Semua kembali ke kebijakan Kementerian Keuangan, apakah Kementerian Keuangan mau memberikan dengan perppu atau tidak," terangnya.
Kendati begitu, menurut Harry, nantinya setiap perubahan kebijakan dan wewenang itu harus tetap dijelaskan pemerintah ke dalam laporan keuangan yang diserahan ke BPK di akhir pelaksanaan APBN. "Pertanggungjawabannya itu nanti tetap seperti melaporkan pertanggungjawaban pada umumnya," ujarnya.
Harry memberi contoh, misalnya ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terpaksa membatalkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Padahal, dana dari pos anggaran UN sudah ada yang digunakan untuk beberapa persiapan.
"Lalu mereka tanya ke saya, apakah dana yang sudah terlanjur digunakan harus dikembalikan menjadi pagu awal? Saya bilang ya tidak perlu, asal dilaporkan saja sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, nanti kami yang akan memeriksa," katanya.
Di sisi lain, ia menekankan BPK terus berusaha menjalankan tugas sesuai dengan fungsi dan tugas, meski kondisi sedang tidak memungkinkan. Hanya saja, prosedur pemeriksaan tetap perlu dijalankan sesuai mekanisme yang berlaku.
Sebelumnya, Anies meminta pemerintah pusat segera mencairkan piutang sebesar Rp5,1 triliun ke Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung arus kas (
cash flow) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apalagi saat ini, pemerintah daerah membutuhkan dana untuk menangani dampak penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19.
Permintaannya itu disampaikan ke Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat rapat virtual kemarin, Kamis (2/4). Selain itu, ia mengaku juga sudah mengirim surat resmi ke Kemenkeu.
"Kami berharap itu berharap dicairkan. Jadi tantangan di Jakarta bukan pada anggaran tapi pada
cash flow. Kalau dicairkan kami punya keleluasaan secara
cash flow," katanya.
Selain itu, ia juga meminta agar DBH Pemprov DKI sebesar Rp2,4 triliun. Kedua tagihan itu dikonfirmasi oleh Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Adriyanto.
Menurut catatannya, utang Rp5,1 triliun merupakan sisa DBH 2019. Dana ini bisa dicairkan bila sudah melalui proses audit oleh BPK.
"Untuk pembayarannya masih menunggu hasil audit BPK dulu. Penganggarannya memang tahun ini," ungkap Adriyanto.
Sementara DBH Rp2,4 triliun merupakan pencairan pos anggaran di tahap kedua yang biasanya diberikan pada Juni setiap tahun pelaksanaan anggaran. "Jadi tata cara penyaluran DBH sudah ada aturannya dan berlaku untuk semua daerah," jelasnya.
[Gambas:Video CNN] (uli/sfr)