ANALISIS

Menyoal Bujet Corona Rp405,1 T yang Dinilai 'Kurang Gigit'

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 21 Apr 2020 08:07 WIB
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri BUMN Erick Thohir (ketiga kiri) berada di ruang IGD saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Presiden Joko Widodo memastikan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/aww.
Ekonom menghitung kebutuhan anggaran penanganan pandemi corona mencapai Rp1.296 triliun atau 8 persen dari PDB Indonesia. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi masyarakat biasa, bujet Rp405 triliun tentu bukan duit sedikit. Tetapi, rasanya tidak cukup besar untuk melawan pandemi virus corona yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Meskipun, dengan anggaran tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terpaksa mengubah ketentuan soal batas defisit APBN dari 3 persen jadi 5,07 persen.

Yang menarik, penilaian kekurangan anggaran tersebut datang dari 'anak buah' Menteri Keuangan Sri Mulyani, yakni Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio N Kacaribu. Katanya, ia tak yakin kalau anggaran yang berkisar 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) itu mampu menutup seluruh kebutuhan melawan covid-19.

Wajar, mengingat penyebaran penyakit covid-19 terus meluas. Kementerian Kesehatan mengungkap setidaknya ada 6.760 kasus positif corona di Indonesia per 20 April 2020, dengan jumlah kematian mencapai 590 orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga kini, belum ada satu orang pun yang dapat memastikan kapan pandemi corona berakhir.

"Apakah paket stimulus cukup? Kami tidak tahu, bahkan kami menduga tidak akan cukup. Terus terang, kami ragu itu akan cukup. Jadi, pemerintah akan siap-siap kalau ini tidak cukup, apakah yang akan dilakukan?," ungkap Febrio, Senin (20/4).

Keraguannya diamini oleh Ekonom UI Fithra Faisal. Menurut Fithra, anggaran Rp405,1 triliun memang kurang untuk menangani pandemi corona di dalam negeri.

Hitung-hitungannya, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sekitar Rp1.134 triliun sampai Rp1.296 triliun atau sekitar 7 persen sampai 8 persen dari PDB. Perhitungan ini muncul dari estimasi kebutuhan belanja bahan pokok masyarakat sekitar Rp375 triliun per bulan.

Kemudian, taruh lah pandemi corona berlangsung selama tiga bulan sesuai masa darurat, maka setidaknya pemerintah perlu menjamin kebutuhan pokok masyarakat mencapai Rp1.125 triliun. Sisanya, untuk penanganan dampak pandemi corona di sektor lain. Misal, kesehatan dan dunia usaha.

Anggaran pemenuhan kebutuhan pokok menjadi yang paling utama dalam paket stimulus karena menyangkut urusan 'perut' masyarakat. Oleh karenanya, alokasi jaring pengaman nasional perlu menjadi prioritas dan dengan nominal yang memadai.

"Negara-negara lain (alokasi anggaran corona) cukup besar, rata-rata di atas 5 persen dari PDB. Sementara (Indonesia) sangat terbatas daya angkatnya, setidaknya harus 7 persen dari PDB," ujar Fithra kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/4).

Sebagai pembanding, alokasi anggaran penanganan corona di Thailand mencapai 3 persen dari PDB. Lalu, Malaysia berkisar 10 persen, Singapura dan Australia 10,9 persen, Amerika Serikat 11 persen, Jepang 19 persen, dan Jerman 20 persen dari PDB masing-masing.

Selain karena pertimbangan urusan 'perut' masyarakat dan perbandingan dengan negara lain, anggaran penanganan dampak pandemi corona di Indonesia perlu lebih besar karena skala ekonomi yang juga cukup besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia setidaknya berkisar 5 persen dalam beberapa tahun terakhir.

[Gambas:Video CNN]

Memang, bila berbicara kebutuhan, tentu akan timbul pertanyaan bagaimana dengan kemampuan negara untuk memperoleh anggaran sebesar itu? Toh, kebijakan anggaran sebesar Rp405,1 triliun dengan defisit melebar ke 5,07 persen saja sudah memunculkan respons negatif dari publik.

Fithra mengatakan sumber anggaran sejatinya tersedia di dalam negeri. Pertama, untuk kondisi darurat seperti ini, peran Bank Indonesia (BI) untuk membeli surat utang negara mau tidak mau harus dilakukan.

Bahkan, hal ini pun sudah diamini pemerintah dan bank sentral nasional melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Hanya saja, Fithra menggarisbawahi bahwa BI jangan cuma menjadi penawar terakhri (last resort) atas surat utang yang diterbitkan pemerintah.

Sebelumnya, BI mengungkapkan bank sentral hanya bisa menjadi last resort bila surat utang yang diterbitkan 'tidak laku' di tahap lelang. Itu pun, BI hanya boleh membeli sekitar 25 persen dari target penerbitan dengan harga yang tidak kompetitif.

"BI seharusnya tidak hanya berlaku sebagai last buyer, tapi juga menyerap lebih besar melalui quantitative easing. Dari situ estimasinya ada tambahan Rp400 triliun sampai Rp500 triliun," terang Fithra.

Menurutnya, peran BI yang terlalu besar dalam pembelian surat utang akan menimbulkan risiko peningkatan inflasi. Namun, risiko ini dinilai tidak terlalu buruk bagi perekonomian Indonesia ke depan.

"Demand-nya (permintaan) akan cukup terkontraksi pada semester I 2020, tapi inflasi tidak akan (naik) terlalu signifikan karena yang lebih dibutuhkan adalah likuiditas ke perekonomian," katanya.

Kemudian, pemenuhan kebutuhan anggaran juga bisa dimaksimalkan dengan kerja sama BI dengan bank sentral AS, The Federal Reserve, melalui repo line senilai US$60 miliar. Begitu pula dengan kerja sama dengan bank sentral lain di dunia.

Sisanya kebutuhan anggaran bisa didapat dari kantong para orang kaya di Indonesia. Caranya, dengan menerapkan kebijakan partisipasi yang ditambahkan insentif bagi dunia usaha.

Menurutnya, peran para 'orang tajir' perlu dimaksimalkan karena sekitar 1 persen penduduk kaya di Indonesia setidaknya menguasai Rp10 ribu triliun. Sementara, untuk insentifnya bisa diperluas dari kebijakan yang sekarang sudah diberikan pemerintah, misalnya melalui pajak, bahan baku, dan lainnya.

"Libatkan partisipasi satu persen penduduk terkaya dengan insentif, misalnya tax exemption selama lima tahun asal mereka mengeluarkan sekitar 5 persen dari total kekayaan sekarang. Itu setidaknya bisa dapat tambahan Rp500 triliun," imbuh dia.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam menambahkan berdasarkan riset lembaganya memang anggaran penanganan corona dari pemerintah masih kalah dari beberapa negara. Namun setidaknya, anggaran yang dikeluarkan cukup lebih tinggi dari China sekitar 1,2 persen dari PDB, Korea Selatan 0,8 persen, dan India 0,5 persen.

Hanya saja, ia menilai tidak salah jika dirasa perlu ditambah. Toh, Indonesia masih memiliki sumber dana. Salah satunya dengan penerbitan surat utang.

Kendati demikian, Piter mengingatkan agar penerbitan surat utang baiknya lebih besar dalam denominasi rupiah dengan mengutamakan pembelian oleh BI dan pengusaha di dalam negeri.

Pasalnya, bila surat utang lebih banyak diterbitkan dalam denominasi valuta asing, misalnya dolar AS, maka peluangnya akan lebih merugikan.

"Ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa bunga kupon yang lebih tinggi atau tenor yang sangat panjang," tandasnya. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER