Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio N Kacaribu menduga gelontoran
stimulus sebesar Rp405 triliun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (
APBN) 2020 belum cukup untuk menanggulangi dampak
virus corona (covid-19).
Ia mengatakan perkembangan pandemi corona menunjukkan kondisi yang masih mengkhawatirkan. Karenanya, pemerintah akan melakukan langkah antisipatif jika insentif tersebut belum mencukupi.
"Apakah paket stimulus cukup? Kami tidak tahu, bahkan kami menduga tidak akan cukup. Terus terang, kami ragu itu akan cukup, jadi pemerintah akan siap-siap kalau ini tidak cukup, apakah yang akan dilakukan?," katanya dalam diskusi virtual, Senin (20/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, stimulus penanganan wabah corona terdiri dari insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun, dan perpajakan dan stimulus KUR sebesar Rp70,1 triliun.
Mayoritas tambahan anggaran diarahkan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan pembiayaan UMKM yakni Rp150 triliun.
Febrio mengatakan stimulus tersebut setara 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kendati demikian, ia mengakui jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan negara maju seperti AS yang mencapai 10 persen dari PDB karena kekuatan fiskalnya yang jauh lebih besar dari Indonesia.
"Indonesia dengan segala keterbatasannya masih bisa sekitar 2,5 persen dari PDB, harapannya bukan hanya untuk membantu tapi juga
recovery di kuartal II, " imbuhnya.
Meski tak menjelaskan sumber pembiayaan insentif tersebut, ia menyatakan pemerintah akan menempuh kebijakan sesuai dengan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Menurutnya, aturan itu telah membuka pintu lebar bagi pemerintah untuk melahirkan kebijakan tak terbatas demi menanggulangi covid-19.
Di sisi lain, ia menyatakan posisi rasio utang terhadap PDB Indonesia masih tergolong aman, yakni kurang lebih 30 persen dari PDB. Namun demikian, ia menyatakan pemerintah tidak akan ceroboh dalam menjaga rasio tersebut karena berdampak pada indikator makro lainnya seperti nilai tukar rupiah dan inflasi.
"Kalau ini naik tiba-tiba dan cepat misalnya dari 30 persen menjadi 32 persen, lalu 34 persen dalam satu atau dua tahun ini juga risiko yang besar. Meskipun kita berada dalam kondisi yang nyaman dibandingkan negara lain, tapi tetap kami tidak bisa terlalu ceroboh dalam menegakkan ini (rasio utang)," katanya.
Sebagai catatan, utang pemerintah hingga akhir Januari 2020 sebesar Rp4.817 triliun. Angka itu meningkat 0,81 persen atau Rp39 triliun dibandingkan posisi Desember 2019 sebesar Rp4.778 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, 84,4 persen atau mayoritas utang pemerintah berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp4.065 triliun. Lebih detail, SBN domestik sebesar Rp2.990 triliun dan SBN berbentuk valuta asing (valas) sebesar Rp1.075 triliun.
Sementara, sisanya sebanyak 15,61 persen berasal dari pinjaman. Jika dirinci, pinjaman dalam negeri sebesar Rp9,56 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp751,9 triliun.
[Gambas:Video CNN] (ulf/sfr)