ANALISIS

Jokowi, Larangan Mudik dan Uang Rp160 Triliun yang Raib

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 21 Apr 2020 14:01 WIB
Sejumlah kendaraan pemudik memadati gerbang tol Cipali-Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (21/6). Memasuki H-4 lebaran, arus mudik di tol Cipali terpantau padat. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/kye/17.
Larangan mudik yang dijalankan Jokowi demi menghentikan penyebaran wabah virus corona berpotensi menghilangkan aliran uang Rp160 triliun ke daerah. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara).
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan melarang total masyarakat untuk mudik pada Lebaran tahun ini. Keputusan yang diambil dalam rapat terbatas pada Selasa (21/4) tersebut dilakukan demi mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.

Kebijakan tersebut berpotensi membuat daerah kehilangan uang yang cukup besar. Sebab, pada momentum mudik lebaran biasanya uang dari pekerja di kota besar seperti Jakarta akan mengalir ke daerah, termasuk desa.

Lantas berapa perhitungan potensi kehilangan sumber ekonomi bagi daerah bila larangan mudik diberlakukan?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal memperkirakan ada sekitar Rp32 triliun sampai Rp160 triliun dana dari kota yang terancam tidak bisa mengalir ke daerah karena larangan tersebut. Angka tersebut ia buat berdasarkan data hsitoris tingkat pengeluaran para perantau di kota saat mudik.

"Secara historis, spending pemudik itu antara Rp1 juta sampai Rp5 juta selama mudik, artinya mencapai Rp32 triliun sampai Rp160 triliun, meski ini biasanya lebih banyak mengalir ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur," ungkap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/3).

Fithra merinci aliran dana itu biasanya terbagi untuk dua keperluan. Pertama, sekitar 30 persen atau Rp9,6 triliun sampai Rp48 triliun untuk belanja ke sektor bisnis angkutan umum, perjalanan, akomodasi, hingga perhotelan.

Kedua, sebesar Rp22,4 triliun- Rp112 triliun untuk dibelanjakan di daerah. Masalah tersebut akan berdampak melebar ke mana - mana.

Salah satunya, geliat bisnis. Fithra mengatakan ketika larangan mudik diterapkan, sektor pariwisata, perhotelan, kuliner, hiburan, transportasi, dan jasa perjalanan terancam mengalami pukulan hebat. Maklum, belanja pemudik untuk sektor tersebut cukup besar.

[Gambas:Video CNN]
Kendati begitu, menurutnya, kebijakan larangan mudik mau tidak mau memang harus dilakukan Jokowi, meski harus mengorbankan ekonomi daerah. Pasalnya, di tengah penyebaran wabah virus corona yang kian meluas, soal uang bukan masalah lagi.

Yang lebih penting saat ini adalah menyelamatkan nyawa masyarakat.

"Mau tidak mau, ekonomi pasti jatuh, tapi lebih baik begini secara jangka pendek, namun ada investasi untuk perbaikan ekonomi jangka panjang bila mata penyebaran virus bisa diputus," katanya.

Untuk daerah pun, Fithra mengatakan larangan mudik bukan akhir dari segalanya. Meskipun berpotensi kehilangan aliran dana besar, bukan berarti pemerintah harus pasrah.

Sebab, ekonomi daerah masih bisa bergerak dengan stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah untuk mengatasi masalah virus corona. Presiden Jokowi beberapa waktu lalu telah mengumumkan banyak stimulus untuk mendorong ekonomi, termasuk daerah yang tertekan virus corona.

Salah satunya, melaksanakan program padat karya tunai. Pemerintahannya akan menggelontorkan dana Rp16,9 triliun untuk melaksanakan program itu di sejumlah daerah supaya ekonomi tetap berjalan. 

Selain itu, Jokowi juga berjanji akan menggelontorkan bantuan langsung tunai untuk menjaga daya beli masyarakat dari tekanan virus corona. Ia menilai kebijakan tersebut akan sedikit mengobati lara yang ditimbulkan oleh larangan mudik.

Sementara Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng melihat potensi kehilangan sumber ekonomi bagi daerah mencapai Rp30 triliun sampai Rp40 triliun pada masa mudik. Angka ini juga berasal dari historis pengeluaran masyarakat saat mudik yang telah dipantau KPPOD.

"Potential loss-nya besar, tapi ini justru harus dilakukan karena menyangkut keselamatan dan penyebaran virus yang lebih luas. Jangan sampai ketika dibiarkan mudik, justru akan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar ke masyarakat daerah," kata Robert.

Atas kemungkinan ini, Robert mengatakan kebijakan percepatan pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mutlak dilakukan oleh pemerintah. Caranya, dengan mempercepat pemberian bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat daerah.

"Karena kalau hanya mengharapkan daya konsumsi masyarakat daerah sendiri, akan susah, konsumsi akan terbatas. Begitu juga bila mengharapkan investasi langsung ke industri yang ada di daerah, efeknya tidak cepat," ungkapnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto menambahkan tak hanya membuat daerah kehilangan uang, larangan mudik juga akan menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Perhitungannya, larangan mudik bisa membuat pertumbuhan ekonomi nasional berkurang hingga 0,1 persen sampai 0,2 persen.

Estimasi ini merujuk pada historis laju ekonomi Indonesia kuartal I yang bisanya berada di kisaran 4,9 persen dan bisa meningkat menjadi 5,0 persen hampir mendekati 5,1 persen pada kuartal II ketika ada momen mudik dan Lebaran.

"Sementara omzet industri yang berkaitan dengan mudik bisa berkurang sekitar 40 persen, misalnya transportasi, karena mereka biasanya akan mengejar target pendapatan sekitar 40 persennya dari momen mudik," jelas Eko.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan kondisi ini membuat pemerintah pusat harus lebih cepat mencairkan dan menambahkan alokasi Dana Desa, Dana Bagi Hasi (DBH), Dana Alokasi Umum (DAK0, Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Insentif Daerah (DID).

"Karena tidak bisa hanya mengandalkan APBD yang bersumber dari penghasilan murni daerah saja," pungkasnya.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER