Jakarta, CNN Indonesia -- Eny (39) galau.
Keluarga yang harusnya menjadi tempat berlindung yang nyaman, kini bagaikan
hutan belantara baginya.
Pasalnya, sudah beberapa waktu belakangan ini, anggota keluarganya menjauhinya karena terbelit utang pinjaman
online. Jeratan utang bermula saat ia membutuhkan uang Rp1 juta.
Tanpa pikir panjang, Eny memenuhi kebutuhannya menggunakan pinjaman penyedia pinjaman
online. Ia meminjam Rp1 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi yang utuh ia terima hanya Rp800 ribu. Bunga yang harus Eny bayar atas pinjamannya itu mencapai Rp500 ribu atau lebih dari 50 persen dari uang yang dia pinjam.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Eni kesulitan membayar pinjamannya.
Kalau dihitung waktunya sudah 8 bulan. "Saya mau bayar, tapi belum ada dana," ujarnya kepada CNNIndonesia, awal pekan ini.
Ia bercerita posisinya yang sudah tidak bekerja sebagai
cleaning service membuatnya kesulitan mengembalikan pinjaman. Ia juga masih kesulitan mendapat kerjaan. Jangankan membayar utang, menjaga dapur tetap mengepul saja ia sudah kembang kempis.
Akibatnya, Eny terus dikejar penagih utang alias
debt collector. Tak hanya itu, Eny juga dipermalukan habis-habisan.
Debt collector yang mengejarnya menyebarkan informasi utang serta fotonya ke seluruh kontak di ponselnya. Tak berhenti di situ, para penagih tersebut pun terus menghujani Eny dengan teror dan ancaman.
Salah satu keponakan Eny bahkan marah dan tak lagi mau berbicara dengan dirinya. Ia terganggu oleh teror dan ancaman
debt collector yang mengejar Eny.
Ujungnya, Eny merasa malu. Ia merasa nama baiknya sudah tercemar. Dia sempat memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
"Terus terang sampai saat ini saya rasa ingin kepingin mengakhiri hidup saja," ungkapnya lirih.
Segendang sepenarian dengan Eny, nasib sama juga menimpa Sandi (33). Sekitar awal tahun ini, Sandi meminjam uang sebesar Rp2 juta ke penyedia jasa pinjaman
online.
[Gambas:Video CNN]Composer & Sound Designer ini menerima bersih pinjaman sebesar Rp1,8 juta. Jelang jatuh tempo, Sandi mengaku mendapatkan telepon dari
platform pinjamannya yang menawarkan pengajuan utang dengan
limit lebih tinggi jika dia bisa membayar hari itu.
Namun, Sandi menolak dan tetap pada pinjaman awalnya. Pada hari jatuh tempo, Sandi masih belum memiliki uang dan terpaksa telat membayar.
"Ya mau gimana lagi. Belum ada uangnya. Saya bilang (ke pinjol) kalau mau didenda, saya akan bayar dendanya. Tapi mereka bilang 'kami gak butuh denda. kami butuh anda bayar'. Sejak itu ya ditagih terus," kisahnya.
Sandi menceritakan setelah telepon tersebut, muncul telepon-telepon lain yang berisi ancaman. Tak hanya melalui telpon, ancaman juga datang langsung melalui
debt collector.
Beruntung, setelah 2 pekan terlambat, Sandi bisa membayar pinjamannya. Sandi harus membayar total Rp2,5 juta dari pinjaman awal yang diberikan Rp1,8 juta.
Bunga pinjaman sebesar Rp400 ribu dan denda Rp22 ribu selama 14 hari.
"Ya intinya kapok sih
apply pinjaman
online. Kalo pun kepepet lebih baik dihindari aja, Sudah nagihnya pakai bahasa yang tidak enak. Pake ancaman. Bunga pun tinggi," ujarnya.
Meskipun sudah tak diminati lagi oleh Sandi, tapi
toh operasi penyedia jasa pinjaman
online tetap tak loyo. Termasuk, di tengah penyebaran wabah virus corona belakangan ini.
Malahan, mereka sekarang rajin menyebar jaring dalam menjerat nasabah. Adalah Agus, yang merasakan tebaran jaring itu.
Semenjak virus corona mewabah, ia sudah menerima puluhan SMS. Isinya, penawaran pinjaman dengan prosedur cepat dan mudah.
Padahal, di tengah corona sekarang ini, potensi kredit macet yang berpotensi dialami penyedia pinjaman
online cukup besar.
Potensi paling tidak bisa dilihat dari Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90) fintech yang turun ke posisi 95,78 persen pada Maret 2020. Statistik Fintech yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap TKB90
fintech menunjukkan tren menurun.
Pada akhir 2018, TKB90 mencapai 98,55 persen. Angka itu turun menjadi 96,35 persen pada Desember 2019, lalu menjadi 95,78 persen pada kuartal I 2020 atau pada musim covid-19.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah bilang pandemi corona memang mempengaruhi banyak sektor bisnis, tak terkecuali sektor jasa keuangan, termasuk fintech.
Buktinya, secara umum, ia mengaku pencairan pinjaman merosot. Meskipun, masih ada beberapa anggota yang mencetak pertumbuhan pinjaman.
Berdasarkan Data OJK, pinjaman
online yang mengalir hingga Maret 2020 mencapai Rp14,79 triliun atau naik 90 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Angka ini juga terus meningkat sejak Desember 2018 yang sebesar Rp5,04 triliun dan Desember 2019 sebesar Rp13,16 triliun.
Sementara, akumulasi penyaluran pinjaman tercatat mencapai Rp102,53 triliun per Maret 2020 atau naik 208,83 persen dari periode yang sama tahun lalu. Jumlah tersebut tersebar ke rekening peminjam sebanyak 24,15 juta orang.
Jumlah peminjam ini naik 246,99 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan akumulasi rekening
lender keseluruhan mencapai 640,23 ribu pada Maret 2020.
Di sisi lain, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi menemukan 81 perusahaan
fintech peer to peer (P2P)
lending ilegal atau perusahaan pinjaman
online (pinjol) yang menawarkan pinjaman kepada masyarakat di tengah penyebaran virus corona sepanjang April 2020.
Dengan penemuan ini, total perusahaan P2P lending ilegal yang ditangani Satgas Waspada Investasi sejak 2018 hingga April 2020 mencapai 2.486 entitas.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengungkapkan penawaran pinjaman dari
fintech P2P lending ilegal ini sangat merugikan masyarakat. Masalahnya, perusahaan kerap memberikan bunga yang tinggi dengan jangka waktu yang pendek kepada masyarakat.
"Mereka juga meminta akses semua data kontak di ponsel. Ini sangat berbahaya karena data ini bisa disebarkan dan digunakan untuk alat mengintimidasi saat penagihan," ungkap Tongam dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (30/4).
Untuk itu, ia meminta masyarakat lebih berhati-hati terhadap penawaran yang dilakukan oleh perusahaan
fintech P2P lending yang tak mendapatkan izin dari OJK. Apalagi, di masa pandemi seperti ini semakin banyak perusahaan yang memanfaatkan momentum karena situasi ekonomi yang sedang memburuk
(agt)