Azhar Syahida
Azhar Syahida
Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.
KOLOM

Corona dan Isu-isu yang Menghantui RI Sesudahnya

Azhar Syahida | CNN Indonesia
Senin, 18 Mei 2020 13:10 WIB
Ketika semua pihak mengkampanyekan tagar #dirumahaja adalah cara terbaik untuk melawan penyebaran virus corona, sejumlah orang tetap memilih diluar rumah, karena bagi mereka rumah adalah trotoar jalanan Ibukota. Kementrian Sosial memperkirakan pada 2019 sebanyak 77.500 gelandangan dan pengemis tinggal di kota-kota besar Indonesia. CNNIndonesia/Adhi Wicaksono
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pada penghujung dekade kedua abad ke-21 ini, dunia centang-perenang. Aktivitas manusia terhambat. Ekonomi pun melambat, bahkan terjerembap ke jurang penyusutan.

Namun, agaknya manusia mulai mengerti. Terbiasa dengan suatu kebiasaan baru. Hingga bila situasi kembali pulih, manusia tahu bahwa dunia pascapandemi tak sepenuhnya sama dengan normal yang dulu.

Dunia pascapandemi memang akan berbeda. Tidak lagi sama dengan dunia sebelum gelombang sampar ini menyerang. Itulah normal baru. Sehingga, dalam rangka menyongsong kenormalan yang sepenuhnya berbeda, kita mesti bersiap dengan segala kemungkinan yang akan mewujud.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nouriel Roubini (2020), profesor ekonomi di New York University, mengingatkan setidaknya ada sepuluh alasan, mengapa potensi depresi ekonomi 2020 makin tak terhindarkan.

Dari kesepuluh alasan yang ia utarakan, saya mencatat tiga isu penting yang menarik diulas, yakni: deglobalisasi yang berkaitan dengan isu negara rentan dan disrupsi lingkungan.


Dari peringatan yang dibuat oleh Roubini itu, saya justru menempatkan ketiganya sebagai fenomena yang akan menyeruak di kehidupan pascapandemi-yang tidak hanya berpotensi memperparah krisis 2020.

Pertama, deglobalisasi. Deglobalisasi bukanlah fenomena baru. Deglobalisasi adalah antitesis globalisasi. Konteks deglobalisasi adalah 'unsustainability' dan 'fragility' dari globalisasi itu sendiri (Bello, 2004:112), yang di beberapa sisi menimbulkan lubang kemiskinan, ketimpangan, dan stagnasi ekonomi.

Pada konteks kekinian, deglobalisasi mencuat dalam rupa proteksionisme, yang sebelum pandemi sebetulnya sudah mulai tampak presedennya, yakni: Brexit dan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.

Dalam kondisi pandemi yang menyebar secara eksponensial demikian, Roubini (2020) berkomentar bahwa proses deglobalisasi antara Cina dan AS akan makin cepat berlangsung. Ia menyebut proses itu sebagai 'balkanisasi' dan 'fragmentasi'.

Karena itu, dunia pascapandemi akan menjadi dunia yang penuh dengan restriksi atas pergerakan barang dan jasa. Dalam bahasa Horald James (2020), sejarawan Princeton University, akumulasi proses itu berpotensi 'melenyapkan globalisasi'.


Proses balkanisasi di tengah pandemi mulai tampak dari pelarangan ekspor hasil pertanian oleh negara penghasil produk pangan. Hal itu bisa dipahami sebagai upaya negara produsen pangan mengamankan kebutuhan domestik. Namun, di sisi lain, demikian itu menimbulkan persoalan pelik bagi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor.

Amina Mohamed (2020), mantan Menteri Pedagangan Kenya, mengatakan, proteksi arus barang memperburuk keadaan di negara-negara Afrika yang tengah berjuang mengatasi pandemi. Misalnya, distribusi peralatan penunjang penanggulangan pandemi yang terhambat, menyebabkan kasus Covid-19 berkembang cepat.

Dalam situasi demikian, maka, isu negara-negara rentan di masa pandemi juga penting untuk diperhatikan lebih serius. Sebab, jurang ketimpangan yang dalam antarnegara, terasa menyayat kemanusiaan di tengah pandemi.

Di saat sebagian manusia mudah memperoleh akses keselamatan atas Covid-19, sebagian manusia di kamp-kamp pengungsian di wilayah konflik kebal akan rasa takut karena memang tak ada hal yang bisa ditakutkan lagi, sebab kemiskinan yang begitu dahsyat.

Rohingya refugees walk through one of the arterial roads at the Kutupalong refugee camp in Cox's Bazar, Bangladesh. Authorities on Thursday, May 14, 2020 reported the first coronavirus case in the crowded camps for Rohingya refugees in southern Bangladesh, where more than 1 million refugees have been sheltered, a Bangladeshi official and the United Nations said. (AP Photo/Shafiqur Rahman, File)Ilustrasi. (Foto: AP/Shafiqur Rahman)



Risiko Lingkungan

Kedua, disrupsi lingkungan. Isu disrupsi lingkungan terus menggema. Publikasi World Economic Forum (WEF), The Global Risks Report 2020, melaporkan isu lingkungan adalah lima besar risiko global 2020, antara lain: cuaca ekstrem, kegagalan pencegahan perubahan iklim, kepunahan keanekaragaman hayati, dan bencana lingkungan yang disebabkan oleh manusia.

Masih dalam laporan yang sama, WEF mencatat, pada 2018, sekurangnya dunia kehilangan US$165 miliar akibat disrupsi lingkungan. Jumlah yang tidak sedikit, tentu saja. Setali tiga uang, AS juga harus menanggung biaya 10 persen dari total produk domestik bruto (PDB) akibat perubahan iklim.

Kemunculan pandemi Covid-19 yang proses penularannya berawal dari kelelawar, terang mewartakan adanya kesalahan manusia dalam mengelola ekosistem lingkungan.

Ada kekeliruan manusia dalam membangun relasi dengan alam. Lebih-lebih, sebelum badai pandemi Covid-19, beberapa wabah yang juga menyeruak, seperti SARS (2002-2003), H1N1 (2009), MERS (2011), dan Ebola (2014-2016), juga berasal dari hewan. 


Dalam konteks mondial, diperlukan konfigurasi yang melibatkan struktur kelembagaan global yang mumpuni. Ada hubungan antarnegara yang dibalut dengan paradigma etis melalui struktur kerja sama yang demokratis.

Yuval Noah Harari (2020) menyebutnya sebagai "Spirit kooperasi global".

Sehingga secara domestik, menghadapi dua pokok persoalan tersebut, ada dua hal penting yang mesti kita perhatikan.

Pertama, perlunya pemerintah mempersiapkan kemandirian negara, baik dari segi ekonomi maupun sumber daya manusia. Secara sektoral, pemerintah mesti menyiapkan langkah-langkah strategis sektoral.

Substansinya adalah pengembangan sektor ekonomi yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Misalnya, produksi pangan dan industri tekstil. Caranya, pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor itu at all costs.


Segala kebijakan ditujukan untuk meningkatkan kapasitasnya. Misalnya, tegas menolak konversi lahan pangan berkelanjutan demi infrastruktur, atau melindungi industri tekstil domestik dari gempuran garmen impor.

Kemudian untuk mendukung pengembangan sektoral tersebut, pemerintah mesti menyiapkan suplai sumber daya manusia. Sebab, ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni, penting untuk mengelola dan mengembangkan kualitas inovasi dan produksi.

Sektor pertanian memberikan konstribusi yang cukup berarti pada perekonomian nasional. Sebab sektor pertanian memberikan kontribusi signifikan dalam PDB Indonesia triwulan kedua tahun 2017 silam. CNNIndonesia/Safir MakkiIlustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki

Kedua
, memperbaiki filosofi pembangunan. Sebagai pelaku pembangunan, pemerintah mestinya akrab dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Alam dipandang sebagai subjek, sehingga relasi manusia dengan alam adalah setara.

Misalnya, setiap konversi hutan untuk infrastruktur mesti dihitung sebagai biaya pembangunan, yang harus diganti dengan sejumlah hutan baru di kawasan lain.

Akhirnya, ruang konfigurasi itu memang mesti diperhatikan. Selagi negara-negara maju bergumul dalam penemuan vaksin pandemi Covid-19, kita mesti bersiap akan isu esensial yang akan menyeruak pascapandemi.

Paling tidak, bila dua hal di atas kita perhatikan, kekhawatiran akan dunia pascapandemi tak akan menghantui bangsa ini. (asa)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER