Jakarta, CNN Indonesia -- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menuding Program Tabungan Perumahan Rakyat (
Tapera) Pemerintah Presiden Joko Widodo (
Jokowi) merupakan bentuk lepas tangan negara terhadap pemenuhan perumahan rakyat. Kebijakan program ini juga dinilai hanya akan menambah beban hidup pekerja, khususnya kalangan buruh.
Ketua Umum KPBI lIhamsyah mengatakan berdasarkan UUD 1945, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak tersebut seharusnya tidak diputar menjadi kewajiban.
Sementara itu, lewat Program Tapera, pekerja wajib menyisihkan sekitar 2,5 persen dari gaji mereka untuk membayar iuran. Padahal, kewajiban ini seharusnya dilakukan oleh negara untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa yang bisa kita lihat dari kebijakan Tapera adalah upaya lepas tangan negara atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat," ucap Ilham dalam keterangan resmi, Kamis (4/6).
Lebih lanjut ia menyebut Program Tapera jelas-jelas mencerminkan bahwa negara tidak bekerja untuk kepentingan rakyat. Bahkan, pemerintah berupaya menarik dana publik daripada alih-alih menggunakan sumber daya negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
"Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit, sebagaimana logika korporasi bekerja," terang dia.
Selain itu, lanjut Ilham, tidak masuk akal bila negara justru memberi beban pemenuhan perumahan rakyat kepada pekerja. Padahal, pekerja sebagai penopang utama sumber pendanaan, tidak memiliki saham atau otoritas apapun atas BP Tapera.
Sayangnya, lepas tangan negara dalam memenuhi hak rakyat sejatinya bukan cuma tercermin pada kewajiban pemenuhan perumahan rakyat. Negara juga dianggap abai terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang lain, misalnya kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
"Setelah tidak mengambil kewajiban penuh dalam sektor kesehatan, kali ini negara juga menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat," katanya.
Di sisi lain, Tapera yang diresmikan Jokowi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 sangat membebani pekerja karena akan menambah beban bagi daya beli. Sebab, pekerja memiliki kewajiban iuran lain di luar Tapera, misalnya BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek.
Kebijakan juga dianggap tidak tepat karena keluar di tengah pandemi virus corona atau covid-19 di Indonesia. Sejatinya, ketika masa sulit seperti ini, negara justru membantu rakyat, bukan menambah beban yang menunjukkan bahwa negara tidak peduli kepada rakyat.
"Sejauh ini negara terus saja mengintensifkan penarikan dana dari publik, yang hakekatnya adalah melemparkan beban krisis ke punggung rakyat. Dari biaya tarif listrik yang naik, tidak diturunkannya harga BBM, sampai dengan perluasan penerapan pajak," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]Ia pun menilai kebijakan ini hanya salah satu akal negara untuk mengatasi tingginya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Seperti diketahui, keuangan negara mau tidak mau harus dialokasikan untuk penanganan dampak pandemi corona.
Alasan lain, asosiasi buruh ragu dengan kecakapan BP Tapera sebagai pengelola dana untuk menjalankan Program Tapera.
"Patut diwaspadai akan mendorong berulangnya praktek pengelolaan yang buruk, merugikan rakyat dan menambah persoalan baru di kemudian hari. Tapera bukannya akan memberikan kebermanfaatan dalam jangka panjang bagi rakyat, sebaliknya malah hanya akan menjadi ladang permasalahan baru," ungkap Ilham.
Karenanya, ia usul agar pemerintah lebih mengutamakan pemenuhan perumahan rakyat melalui program yang sudah berjalan di bawah pimpinan Kementerian PUPR. Toh, Kementerian PUPR setidaknya sudah berhasil membangun 1,2 juta rumah hingga akhir 2016 lalu.
"Negara tidak boleh lepas tangan atau mencari jalan lain untuk menghindari kewajiban ini. Negara harus menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bukan saja untuk membuat rakyat memiliki hunian yang layak, pun demi meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup rakyat secara keseluruhan," ucapnya.
Selain itu, ia memberi saran agar pembangunan perumahan rakyat dilakukan secara terintegrasi, seperti pembentukan kawasan industri karena dianggap lebih hemat. Pemerintah tinggal mengalokasikan lahan untuk membangun kawasan tersebut.
Pembiayaan pembangunannya pun bisa ditarik dari swasta dan sumber lain, misal dari iuran BP Jamsostek yang selama ini dibayarkan pekerja. Menurut catatannya, dana kelola BP Jamsostek setidaknya sudah tembus Rp431,9 triliun hingga 2019 lalu.
Bahkan, pada tahun yang sama, perusahaan berhasil melakukan investasi dan menghasilkan dana Rp29,2 triliun. "Besaran dana yang ada dan keuntungan yang dihasilkan harus mulai dialihkan, satu di antaranya untuk membangun perumahan gratis atau setidaknya sangat murah untuk buruh," tandasnya.
(uli/bir)