Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan
Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan penerapan tata kehidupan baru (
new normal) yang membuat aktivitas masyarakat secara perlahan dimulai kembali di tengah pandemi
virus corona tak serta merta akan membuat pengusaha restoran serentak membuka bisnisnya.
Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran menjelaskan sebagian dari pengusaha mereka masih mempertimbangkan ketersediaan modal dan pasar.
Jadi, pemberlakuan
new normal tak lantas membuat semua restoran kembali melayani pelanggan. "Restoran tidak serentak buka pasti ada banyak hal yang dipertimbangkan, jadi bertahap mereka bukanya," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mempersilahkan daerah yang masuk zona kuning untuk mulai menerapkan
new normal. Daerah kuning sendiri merupakan wilayah dengan tingkat penyebaran Covid-19 rendah.
Maulana mengatakan pertimbangan ketersediaan modal dipikirkan karena sejumlah restoran tak lagi mengantongi pendapatan lebih dari dua bulan belakangan ini. Kondisi ini, lanjutnya, menjadi kendala saat hendak kembali beroperasi.
Selain itu, kata dia, sejumlah pengelola restoran juga masih mempertimbangkan pasar. Pasalnya, pembukaan ekonomi tak menjamin kunjungan konsumen ke restoran langsung pulih.
"Kalau restoran di luar mal lebih mudah (buka kembali) karena mereka punya tempat sendiri. Kalau kantor-kantor sudah buka, harapan ada karena mereka sudah punya konsumen masing-masing," imbuhnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada bisnis hotel. Kembalinya aktivitas masyarakat tak menjamin kunjungan ke hotel kembali seperti semula.
Sebab, meskipun sudah memasuki
new normal namun mobilitas masyarakat masih terkendala. Padahal, sektor perhotelan sangat bergantung dari mobilitas masyarakat.
"Hotel dari awal PSBB memang tidak dilarang tutup. Hotel tutup itu karena pembatasan sosial, tanpa disuruh ya tutup sendiri. Sekarang beberapa wilayah yang masuk ke PSBB transisi mulai satu-satu buka, itu pun tidak sekaligus serentak," katanya.
Menurutnya, kendala mobilitas masyarakat berasal dari persiapan dokumen salah satunya hasil tes PCR. Maklum, biaya tes PCR dipatok hingga Rp2,5 juta per tes.
Selain itu, setiap daerah menerapkan aturan berbeda-beda sehingga memberatkan masyarakat. Oleh sebab itu, ia meminta kepada pemerintah agar menurunkan biaya tes PCR.
"Kalau harganya masih jutaan, masih berat. Misalnya, naik pesawat tiket pesawat plus Rp2 juta untuk tes PCR ini kan berat. Jadi menurut kami ini yang harus dibenahi," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]Namun, PHRI mengaku tidak mengantongi laporan data perihal jumlah restoran dan hotel yang siap kembali operasi di era
new normal. Mereka, kata dia, hanya memiliki data restoran dan hotel yang tutup akibat pandemi Covid-19.
Data ini dibutuhkan untuk memberikan gambaran kondisi sektor restoran dan perhotelan kepada pemerintah.
"Restoran yang tutup sekitar 8.000-an dan hotel 1.600-an di awal Mei. Sebetulnya, data itu juga bukan angka aktual, di lapangan pasti lebih banyak dari itu. Data itu hanya pengelola yang lapor ke PHRI," jelasnya.
PHRI sendiri telah memberlakukan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk restoran dan hotel di era
new normal. Panduan itu telah disusun sejak Maret saat penyebaran virus corona mulai masif di Indonesia.
Kemudian, PHRI merevisi SOP operasional restoran dan hotel berdasarkan ketentuan
new normal. Ia mengatakan panduan tersebut akan terus diperbaharui.
"Kami sedang mempersiapkan kritikal poin sebagai guidance di versi ketiga. Misalnya, di hotel dan restoran ada hal-hal yang harus didiskusikan dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pariwisata, contohnya kolam renang, gym, dan buffet.
Tidak mungkin kan kami memberikan sarapan ke tiap-tiap kamar. Ini kami sedang diskusi dan masih dalam proses evaluasi," katanya.
(ulf/agt)