ANALISIS

Untung Buntung Hapus Premium dan Pertalite

hrf | CNN Indonesia
Jumat, 19 Jun 2020 07:30 WIB
Sejumlah pengendara motor mengantre untuk mengisi bahan bakar di sela peluncuran BBM Pertalite di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Jumat (24/7). Pertamina secara resmi meluncurkan Pertalite RON 90 dengan harga Rp8.400 per liter untuk pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Rei/kye/15.
Menteri BUMN Erick Thohir mengarahkan PT Pertamina (Persero) untuk mengurangi produk BBM-nya. Salah satu produk diisukan bakal hilang adalah Premium. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia --

Arahan Menteri BUMN Erick Thohir kepada PT Pertamina (Persero) untuk memangkas produk BBM-nya dinantikan oleh berbagai pihak. Salah satunya, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) yang mendorong penghapusan bahan bakar tak ramah lingkungan sejak 2005. 

Erick sendiri melihat produk BBM Pertamina terlalu banyak sehingga tidak efisien, baik dari sisi produksi maupun distribusi.

"Mereka bensinnya, solarnya, banyak, ada sembilan. Nah, ini mau kami konsolidasikan, jangan produk terpisah," ujar Erick dalam konferensi pers virtual, Jumat (12/6) lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mendapat arahan itu, perseroan pun bersiap. Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan simplifikasi produk BBM bakal mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N dan Kategori O. Artinya, produk BBM beroktan rendah seperti Premium dan Pertalite berpotensi tidak lagi dipasarkan.

"Ada regulasi KLHK yang menetapkan bahwa untuk menjaga polusi udara ada batasan di RON berapa, di kadar emisi berapa. Jadi nanti yang kami prioritaskan produk yang ramah lingkungan," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin(15/6)

Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menilai seharusnya produk Pertamina sudah dipangkas sejak dua tahun lalu. Sebab dalam Permen LHK yang dirujuk tersebut, pemerintah menetapkan penggunaan BBM tipe Euro 4 atau setara BBM oktan 91 ke atas dimulai 2019 secara bertahap hingga 2021.

Ia menyarankan pemangkasan jumlah produk delapan menjadi empat, yakni Pertamax dan Pertamax Turbo untuk bensin, serta Perta-Dex dan Perta-Dex High Quality (HQ) untuk solar.

Adapun empat lainnya, yakni Premium 88, Pertalite 90, Solar 48 dan Solar Dexlite harus dihapus karena tak sesuai dengan standar kendaraan bermotor rendah emisi dengan safety level yang baik.

"Sekarang kan ada 8 varian BBM, dan itu menyulitkan Pertamina sendiri. Padahal, kami dari 2008 sudah mengusulkan varian BBM cukup 4: dua bensin, dan solar. Bensin yang RON atau kadar oktannya 91 (Pertamax) dan 95 (Pertamax Turbo)," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/6).

Menurut Ahmad, lambatnya langkah Pertamina untuk memangkas jumlah produk juga membuat masyarakat kian ketergantungan terhadap BBM kotor.

Ia menyebut, misalnya, konsumsi BBM jenis Premium dengan RON 88 di Indonesia masih cukup besar kendati sudah ditinggalkan oleh negara-negara lain.

Berdasarkan data BPH Migas, konsumsi BBM jenis RON 88 atau Premium di Indonesia pada Januari-Mei 2020 mencapai sebanyak 3,82 juta Kiloliter (KL). Sementara konsumsi bensin RON 90 atau Petralite pada periode yang sama tercatat sebanyak 4,78 juta KL.

Sebaliknya konsumsi BBM jenis RON 95 atau Pertamax Plus Plus pada periode Januari-Mei 2020 hanya sebesar 31.630 KL. Mengacu pada data tersebut, jelas bahwa tingkat konsumsi RON 95 di Indonesia masih sangatlah rendah dibandingkan dengan RON 88 dan RON 90.

Ahmad melanjutkan, Pertamina juga perlu lebih terbuka terkait dengan struktur harga BBM jika simplifikasi produk dilakukan. Sebab selama ini harga eceran BBM di Indonesia masih mahal jika dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Harga BBM Pertamax Turbo yang dijual Pertamina, misalnya, masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan bensin sejenis yang dijual di Malaysia. "Mereka mampu memproduksi dan memasarkan bensin dengan kualitas yang setara Pertamax Turbo  dengan harga SPBU Rp5.495/liter," ucapnya.

Direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pengurangan jenis produk juga penting untuk memudahkan dan meningkatkan efisiensi biaya distribusi.

Makin sedikit produk yang didistribusikan, biaya distribusi bisa lebih rendah dan pada gilirannya bisa menekan biaya produksi BBM ramah lingkungan.

"Dengan penyederhanaan produk, maka biaya storage dan distribusi bisa lebih hemat. Kalau Anda punya 8 produk, anda perlu 8 storage, 8 mobil tangki untuk distribusi. Sekarang kalau dipangkas jadi 5 atau 6, kebutuhan storage berkurang, mobil tangki juga berkurang," tuturnya.

Masalahnya, hingga saat ini kilang Pertamina belum mampu memenuhi kebutuhan BBM yang memenuhi standar Euro IV. Kementerian ESDM mencatat, produksi Pertamax baru mencapai 163.500 KL per tahun sementara demand-nya mencapai 6,8 juta kl per tahun.

[Gambas:Video CNN]

Mau tak mau, Pertamina harus menambal kebutuhan tersebut lewat mekanisme impor. Jika tidak, Pertamina harus menunggu hingga kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) unit V Balikpapan selesai pada tahun 2024. 

"Jadi kebijakan tersebut harus tetap dilaksanakan oleh Pertamina. Apalagi (penghapusan Premium) sudah ditunda pelaksanaannya. Dengan demikian masyarakat bisa terhindar dari dampak polusi udara dan dampak lingkungan lainnya dari penggunaan bahan bakar yg lebih bersih," pungkasnya.

(sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER