Eks Menteri SBY Sebut RI Hadapi Real Problem Tahun 2021

CNN Indonesia
Kamis, 25 Jun 2020 18:42 WIB
Menteri Keuangan Chatib Basri, Jakarta, Senin 06 Oktober 2014. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.
Chatib Basri, eks menkeu era SBY, menilai kondisi masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini sangat berat dan mengandalkan bansos. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Eks menteri keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Chatib Basri menilai ada 'real problem' yang menanti ekonomi Indonesia pada 2021 mendatang. Real problem ini buntut pandemi virus corona.

Padahal, pemerintah dan banyak kalangan mengisyaratkan resesi terjadi pada kuartal ketiga tahun ini.

Namun, Chatib menjelaskan kondisi masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini sangat berat. Mereka amat mengandalkan bantuan sosial (bansos) hingga subsidi bunga kredit dari pemerintah.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini, pemerintah memang sudah memberikan beragam bansos untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Mulai dari bansos tunai dan sembako, penjaminan kepada perbankan yang memberikan kredit kepada UMKM, subsidi bunga kredit, dan restrukturisasi kredit.

Namun, Chatib menyebut belum ada kepastian dari pemerintah apakah kebijakan-kebijakan itu akan terus dilakukan hingga tahun depan. Jika tidak ada, maka ini akan membahayakan masyarakat kelas menengah ke bawah dan UMKM dengan pinjaman Rp10 miliar ke bawah.

"Real problem baru muncul 2021 sebab yang sekarang UMKM kreditnya dapat restrukturisasi, nah tapi itu nanti bisa diperpanjang lagi tidak. Itu real problem muncul, di bank, korporasi," kata Chatib dalam video conference, Kamis (25/6).

Selain itu, UMKM yang mendapatkan restrukturisasi kredit sebenarnya belum tentu bisa membayar kreditnya secara utuh. Mereka akan kesulitan membayar karena permintaan masyarakat masih rendah.

"Yang UMKM kreditnya direstrukturisasi, itu dananya balik tidak? Dananya berputar tidak? Ini saya bicara kredit di bawah Rp10 miliar. Sekarang diperpanjang, tapi nanti tetap harus dibayar. Ini akan muncul masalahnya," jelas Chatib.

Di tengah situasi ini, Chatib menilai pemerintah perlu mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Selama permintaan tidak ada, maka percuma UMKM melakukan produksi.

"Permintaan itu tidak bisa kebijakan moneter, tapi harus fiskal dengan kasih bantuan langsung tunai (BLT). Tapi BLT hanya untuk yang miskin," ujar Chatib.

Padahal, penurunan daya beli masyarakat juga terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan menengah ke bawah. Kalau di kelompok ini tidak ada permintaan, maka sulit memulihkan ekonomi domestik.

"Perlu bantuan ke kelas menengah ke bawah. Kalau tidak ada permintaan, daya beli tidak muncul, percuma. Produki UMKM ada, tapi tidak ada yang beli," terang Chatib.

Sebagai informasi, pemerintah mengalokasikan belanja tambahan sebesar Rp123,46 triliun untuk memulihkan sektor UMKM pasca dihantam pandemi virus corona.

Dana itu akan digunakan untuk subsidi bunga sebesar Rp35,28 triliun, penempatan dana untuk restrukturisasi Rp78,78 triliun, penjaminan modal kerja Rp1 triliun, insentif pajak penghasilan (PPh) UMKM Rp2,4 triliun, pembiayaan investasi kepada koperasi Rp1 triliun, dan belanja untuk imbal jasa penjaminan (IJP) Rp5 triliun. 

[Gambas:Video CNN]



(aud/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER