Daftar perusahaan yang menangguhkan iklan di Facebook untuk memprotes kegagalan platform tersebut mengontrol pidato kebencian makin bertambah setiap harinya.
Senin (29/6) lalu, sejumlah merek papan atas seperti Adidas (ADDDF), HP (HPQ), dan Ford (F) menambahkan nama mereka ke daftar boikot yang sebelumnya sudah dilakukan oleh Unilever (UL), The North Face, Coca Cola (CCHGY), Honda (HMC) dan lain-lain.
Meski korporasi besar telah menjatuhkan harga saham Facebook dan mendorong manajemen untuk melakukan audit dan perbaikan, masih banyak yang dibutuhkan untuk menghentikan raksasa iklan digital tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, Facebook menghasilkan US$69,7 miliar atau sekitar Rp975,8 triliun (asumsi kurs Rp14 ribu per dolar AS) dari iklan pada tahun 2019, atau lebih dari 98 persen dari total pendapatan tahun ini. Tapi sebagian besar pemasukan iklan itu tidak datang dari perusahaan seperti Starbucks (SBUX) dan Coca Cola melainkan bisnis skala kecil dan menengah (UKM).
Menurut data dari firma riset pemasaran Pathmatics, Facebook memiliki 8 juta pengiklan di awal tahun ini. Dan dari jumlah tersebut, 100 merek papan atas dengan belanja iklan tertinggi hanya berkontribusi US$4,2 miliar terhadap pendapatan iklan Facebook tahun lalu atau hanya sekitar 6 persen dari pendapatan iklan platform.
Terakhir kali Facebook membagikan data itu sendiri pada bulan April 2019, ketika COO Sheryl Sandberg mengatakan 100 pengiklan teratas mewakili "kurang dari 20 persen" dari total pendapatan iklan.
Nicole Perrin, seorang analis di eMarketer mengatakan sebagian besar klien pengiklan Facebook adalah usaha kecil. "Mereka jelas sangat bergantung pada ekor panjang pengiklan bisnis kecil," katanya seperti dikutip CNN, Rabu (1/7).
Bahkan, saat Facebook menghadapi boikot pengiklan terbesar dalam sejarahnya, banyaknya pengiklan di platformnya dapat melindungi perusahaan dari kejatuhan finansial terlalu banyak.
Lantas, muncul pertanyaan "Berapa lama para pengiklan besar dan kecil mampu memboikot dan menangguhkan iklan mereka dari Facebook?".
Perlu diingat, meski Facebook telah banyak berinvestasi untuk kecerdasan buatan (AI) dan produk virtual reality, perusahaan tersebut-seperti banyak perusahaan sejenisnya di Silicon Valley- tetaplah bisnis periklanan.
Pendapatan yang dihasilkannya dari iklan tersebut tumbuh seiring dengan basis dan jangkauan pengguna Facebook. Menurut data yang dikumpulkan oleh perusahaan riset eMarketer, pada 2009 pendapatan iklan Facebook sepanjang tahun sekitar US$761 juta.
Lihat juga:6 Perusahaan Digital Asing Siap Pungut Pajak |
Saat itu, Facebook hanya memiliki 350 juta pengguna. Tapi sekarang, pengiklan di platformnya memiliki akses kepada 2,6 miliar pengguna dan 1 miliar lainnya di Instagram, yang dibeli seharga US$1 miliar pada 2012.
Platform iklan Facebook memungkinkan mereka untuk membidik calon konsumen secara spesifik berdasarkan usia, jenis kelamin, lokasi, dan lainnya.
Peta permainan pun berubah, terutama untuk bisnis kecil tanpa kantong tebal yang ingin memiliki kemampuan iklan sama dengan perusahaan besar yang memasang iklan di TV. Facebook secara efektif menempatkan diri menjadi setengah dari duopoli iklan digital, dengan saingan utamanya Google.
Menurut data eMarketer, kedua perusahaan bersama-sama menyumbang lebih dari setengah dari semua pengeluaran iklan digital dan hampir 30 persen dari total pengeluaran iklan media di Amerika Serikat tahun lalu.
Sebaliknya, belanja iklan di TV telah menyusut drastis dari 37 persen menjadi menjadi 29 persen dalam kurun 2009 hingga 2019.
Oleh karena itu, meski merek-merek besar melakukan boikot dan mempertimbangkan alternatif iklan lain termasuk pesaing Facebook seperti Google dan Amazon atau platform ramah remaja seperti TikTok dan Snapchat, jutaan usaha kecil mungkin tetap tak akan berpindah.
"Saya pikir itu relatif tidak mungkin bahwa usaha kecil (dan) merek kecil akan bergabung dengan boikot, karena merekalah yang paling bergantung pada Facebook untuk akses ke pelanggan mereka," pungkas Perrin.