Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, angkat bicara soal tagihan pengembalian dana beasiswa sebesar Rp773,87 juta dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan kepada Veronica Koman.
Menurut dia, mengkaitkan LPDP dengan aktivitas Veronica sebagai pegiat hak asasi manusia (HAM) dalam isu Papua tidak tepat. Sebab, dalam hal ini, LPDP hanya menegakkan aturan terkait kewajiban penerima beasiswa untuk kembali dan berkontribusi di Indonesia sesuai perjanjian.
"Selain itu ada surat pernyataan bersedia kembali. Ini soal komitmen ya," dikutip dari akun Twitter resmi @prastow, Kamis (13/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah LPDP baru belakangan melakukan upaya pengenaan sanksi ini? Jelas tidak! Hal ini berlaku kepada seluruh alumni, termasuk VKL (Veronica). Jadi, jangan dibalik, seolah karena aktivitas VKL, maka LPDP dipakai sebagai alat politik," kata Yustinus.
Berdasarkan informasi dari sistem LPDP, sambung dia, Veronica menginformasikan sempat kembali ke Indonesia pada 2018 lalu untuk mendampingi aksi para mahasiswa Papua di Surabaya. Lalu, ia kembali lagi ke Australia. Namun, saat itu ia pulang sebelum lulus. Artinya, bukan pemenuhan kewajiban sebagai alumni.
Veronica baru lulus pada Juli 2019 dan melaporkan kelulusannya pada aplikasi sistem LPDP pada 23 September 2019. Itu pun, belum lengkap. Setelah menjadi alumni, Veronica tidak memenuhi kewajiban kembali dan berkarya di Indonesia, sesuai perjanjian dan surat pernyataan.
"Atas dasar itulah, LPDP pada 24 Oktober 2019 menerbitkan surat keputusan dirut tentang sanksi pengembalian dana beasiswa LPDP sebesar Rp773.876.918. Pada 29 November 2019 diterbitkan surat penagihan pertama kepada Veronica," terang dia.
Menariknya, lanjut Yustinus, pada 15 Februari 2020, Veronica mengajukan metode pengembalian dana beasiswa dengan cicilan 12 kali. Ia membayar cicilan pertama sebesar Rp64,5 juta pada April 2020.
Tentu, komitmen ini patut dihargai. Namun, sayang, ia tak melanjutkan lagi cicilannya hingga datang penagihan berikutnya pada 15 Juli 2020. "Apa konsekuensinya?" tulis Yustinus.
"Jika VKL tidak memenuhi, maka penagihannya akan dilimpahkan ke panitia urusan piutang negara di Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu. Ini hal yang normal dan sejak dulu aturan juga demikian. Saya jadi ingat kawan baik saya, tahun 1990an dikejar-kejar petugas karena belum melunasi seperti VKL," imbuh dia.
Hingga Agustus 2020, ia merinci terdapat 24.926 penerima beasiswa LPDP dan 11.519 alumni. Sebagian besar di antaranya telah kembali dan mengabdi di Indonesia. Namun, ada pula 115 kasus alumni yang tak kembali, 60 di antaranya sudah diberikan peringatan dan memilih kembali.
Sedangkan sisanya, 51 kasus, dalam proses pengenaan sanksi. Sementara, empat kasus dalam proses penagihan, termasuk di dalamnya Veronica. "Benderang kan, ini tak ada kaitan dengan politik dan tak perlu dikaitkan dengan pihak manapun. Ini soal komitmen, maka penuhi saja, tanpa perlu playing victim," tegas Yustinus.
Bila Veronica memiliki masalah hukum dan politik, ia sarankan yang bersangkutan untuk menyelesaikan jalur hukum dan politik. Begitu pula dengan sanksi finansial beasiswa LPDP yang seharusnya tertib pada aturan dan komitmen yang berlaku. "Tanpa menebarkan tuduhan yang tak perlu. Ini soal profesionalitas," tekannya.
Sebelumnya, Veronica menduga tindakan pemerintah melalui LPDP merupakan 'jegalan' terhadap dirinya agar berhenti berbicara dan mengadvokasi isu HAM di Papua. Dugaan itu muncul karena ia mengaku sempat menjadi korban kriminalisasi pemerintah atas sejumlah advokasi HAM Papua yang pernah ia lakukan.
"Pemerintah Indonesia menerapkan hukuman finansial sebagai upaya terbaru untuk menekan saya berhenti melakukan advokasi HAM Papua. Pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang diberikan kepada saya pada September 2016," ungkap Veronica, dikutip Kamis (13/8).
Lebih lanjut, Veronica mengklaim sudah menjalankan perjanjian beasiswa untuk kembali ke Tanah Air pada 2018 setelah lulus dari program Master of Laws di Australian National University.
Ia kembali untuk melanjutkan advokasi HAM di Jayapura, Papua. Ia juga mengklaim pernah kembali pada Maret 2019 usai berbicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di Swiss dan kembali ke Indonesia.
Lalu, ia kembali lagi untuk memberi bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua di tiga pengadilan berbeda di Timika, Papua, pada Mei 2019.