Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso buka suara mengenai isu pengawasan bank yang kembali ke tangan Bank Indonesia (BI) seperti beberapa tahun lalu.
Menurut Wimboh, saat ini koordinasi pengawasan bank antara OJK dan BI sejatinya baik-baik saja. Begitu juga dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Sementara ini kita berjalan dengan baik meski kita lihat ada hal-hal yang harus kita lakukan dalam penanganan bank bermasalah ini, ada hal-hal yang perlu kita lihat agar segera bisa ditangani," ujar Wimboh saat konferensi pers virtual, Kamis (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wimboh bilang pengawasan bank sejatinya memang perlu keterlibatan dan koordinasi dari berbagai lembaga keuangan. Sebab, OJK hanya bisa memberikan pengawasan pada operasional bisnis bank.
Namun, kebijakan terkait likuiditas dan sistem pembayaran ada di bank sentral nasional. Begitu juga dengan LPS yang bertugas menangani bank yang terlanjur bermasalah.
"OJK dalam tangani perbankan hanya punya kebijakan. Sedangkan likuiditas ini adalah ada di BI sebagai lender of last resort dan juga di LPS sebagai lembaga yang apabila harus menangani yang bermasalah," terangnya.
"Jadi hal ini yang perlu kami lebih clear-kan dalam hal penanganan likuiditas bank," sambungnya.
Kendati begitu, ia enggan memberikan elaborasi lebih lanjut mengenai isu peralihan pengawasan bank ke BI. Sebelumnya, pemerintah dikabarkan bakal mereformasi lembaga di sistem keuangan, mulai dari BI, OJK, dan LPS melalui perubahan aturan dasar masing-masing lembaga.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perubahan aturan dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi di tengah pandemi virus corona atau covid-19.
"Kami melihat dari sisi antisipasi forward looking dari pandemi bagi stabilitas sistem keuangan, jadi ini isu utama yang akan kami pantau dan kelola. Apakah di dalam struktur peraturan perundang-undangan mampu merespons kondisi krisis yang sangat unprecedented," ungkap Ani, sapaan akrabnya.
Bendahara negara mengatakan perubahan juga dilakukan sebagai tindak lanjut dari penerbitan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
"Untuk menjaga dan mengantisipasi dampak covid terhadap masyarakat yang berimplikasi ke keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan, karena covid ini belum berakhir dan kami masih di tengah-tengah menghadapi covid," jelasnya.
"Kalau landasan hukum belum mencukupi dan memadai harus mulai lakukan identifikasi dan langkah-langkah untuk bagaimana apabila diperlukan," sambungnya.
Saat ini, rencana perubahan aturan sudah dikomunikasikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Untuk itu, pembahasan lebih lanjut akan dilakukan pemerintah dengan badan legislatif ke depan. Secara pararel, pemerintah pun terus melihat bagaimana kondisi keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan ke depan.
"Poinnya adalah menjaga stabilitas, meski kondisinya extra ordinary baik di sistem keuangan bank dan nonbank agar langkah dari OJK bisa smooth, begitu juga dengan BI sebagai lender of last resort dan LPS sebagai lembaga resolusi," tandasnya.