ANALISIS

Setengah Hati Menjadikan Vaksin Jalan Keluar Corona

CNN Indonesia
Jumat, 04 Sep 2020 08:23 WIB
Yayasan Perlindungan Konsumen menilai pemerintah setengah hati menjadikan vaksin sebagai jalan keluar karena ketersediaannya tidak dinikmati seluruh warga.
Yayasan Perlindungan Konsumen menilai pemerintah setengah hati menjadikan vaksin sebagai jalan keluar karena ketersediaannya tidak dapat dinikmati seluruh warga secara gratis. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto).
Jakarta, CNN Indonesia --

Rencana pemerintah memulai produksi vaksin corona awal tahun depan membawa harapan baru bagi pemulihan ekonomi. Pasalnya, berbagai upaya yang selama ini dilakukan belum cukup ampuh untuk mengungkit kembali aktivitas perekonomian. 

Adaptasi kebiasaan baru tak langsung disambut masyarakat dengan gegap-gempita seperti berbelanja, liburan atau melakukan aktivitas sosial, seperti masa normal. Masih banyak yang bertahan di rumah karena khawatir dengan kasus baru yang terus meningkat tiap harinya.

Seperti diketahui, kandidat terkuat vaksin corona yang bakal diproduksi dalam waktu dekat berasal dari perusahaan farmasi asal China, Sinovac. Saat ini, cikal bakal vaksin dalam tahap uji klinis terakhir dan bakal segera diproduksi BUMN PT Bio Farma (Persero) ketika proses tersebut selesai. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk permulaan, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir menargetkan dapat memproduksi 40 juta dosis vaksin. Jumlah ini akan meningkat secara bertahap menjadi 100-250 juta dosis dalam setahun.

Namun, penyediaan vaksin tidak serta merta dapat dinikmati oleh seluruh warga. Terbatasnya kemampuan fiskal pemerintah membuat produksi vaksin gratis hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang dianggap membutuhkan.

Hal ini disesalkan Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen dan Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta. Menurut dia, hal itu menunjukkan pemerintah masih setengah hati menjadikan vaksin sebagai jalan keluar mengatasi pandemi covid-19.

Padahal, menurutnya, pemerintah berkewajiban memberi vaksinasi gratis terhadap seluruh warga. Atau, setidaknya, mensubsidi warga yang melakukan vaksinasi mandiri.

Sebab, ia yakin pada tahap awal produksi, harga vaksin akan sangat mahal karena suplainya tak sebanding dengan permintaan atau kebutuhan.

Misalnya, butuh dua kali suntik vaksin untuk memproteksi satu orang dari corona. Dengan demikian, bila rencana produksi 40 juta vaksin di awal tahun, maka hanya 20 juta jiwa yang dapat dijangkau.

Karena itu lah, ia menyarankan pemerintah tidak menjual vaksin tersebut di tahap awal produksi, melainkan digratiskan seluruhnya kepada masyarakat dan didistribusikan langsung ke daerah dengan tingkat penularan tinggi.

Setelah produksi meningkat, baru lah vaksin bisa didistribusikan secara komersil di samping distribusi vaksin gratis. "Skema distribusi harus disiapkan pemerintah soalnya harganya bisa mahal kalau dijual. Memang hukumnya begitu, pemerintah harus ngatur karena, kan harga juga mengikuti suplai dan permintaan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/9).

Ketua Pelaksana Komite Penanggulangan Covid-19 dan PEN Erick Thohir memang mengakui hanya sekitar 93 juta orang yang akan mendapatkannya secara gratis, sementara sisanya harus melakukan vaksinasi mandiri.

Namun, ia bilang penentuan harga vaksin akan diserahkan sepenuhnya kepada produsen. Artinya, harga dibentuk mekanisme pasar dengan mengikuti faktor supply-demand. Erick sendiri belum bisa menaksir berapa biaya yang perlu dikeluarkan untuk satu kali vaksinasi.

"Harga itu dinamikanya tinggi, bergantung masing-masing penjual. Yang tetapkan (harga) bukan saya, tapi penjualnya. Karena itu, vaksin Merah Putih harus kami buat supaya kalau negara lain mau beli vaksin, kami tetapkan harga," jelasnya usia rapat bersama IDI dan PPNI, Kamis (3/9).

Peneliti Indef Abra Talattov mengkritik langkah pemerintah yang enggan mengintervensi harga untuk vaksinasi mandiri tersebut. Membiarkan produsen sepenuhnya menentukan harga dinilai justru berpotensi memunculkan persaingan usaha tidak sehat dalam distribusi vaksin. 

[Gambas:Video CNN]

Tanpa instrumen hukum yang memadai seperti saat ini, pemerintah juga akan kesulitan menangani pihak-pihak yang berusaha memainkan harga seperti yang terjadi pada masker dan hand sanitizer di awal kemunculan pandemi covid-19.

"Saya khawatir ketika beredar, bagaimana pemerintah memastikan masyarakat bisa mengakses dengan fair (adil)? apakah ada kepastian itu tidak ada penimbunan?" tukasnya.

Lagipula, sambung Abra, seharusnya pemerintah bisa memberikan subsidi atau melakukan intervensi harga vaksin. Toh, Kementerian BUMN sudah mengusulkan agar Biofarma mendapatkan suntikan modal (PMN) Rp2 triliun untuk pengadaan vaksin dan peningkatan kualitas sarana kesehatan pada tahun depan.

Usulan tersebut disampaikan Erick Thohir saat rapat bersama Komisi VI DPR RI kemarin. "Ini kan kalau disetujui, modalnya berarti bertambah, di luar anggaran pengadaan vaksin Rp25 triliun yang sudah dialokasikan buat tahun depan. Jadi pemerintah harus menjamin ketersediaan vaksin" tegas Abra.

Di samping itu, ia berpandangan vaksin merupakan public goods atau barang publik yang manfaatnya harus bisa dinikmati semua orang. Sebab, sebelum bisa diproduksi massal, ia melalui tahap uji klinis yang melibatkan relawan dari masyarakat.

"Saya mendorong ini diberikan gratis untuk memastikan seluruh warga tervaksinasi dan tidak ada risiko carrier," tandasnya. 

(hrf/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER