Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia bakal masuk ke jurang resesi jika ekonomi Indonesia pada periode Juli sampai September 2020 minus.
Maklum, ekonomi dalam negeri sudah minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 kemarin. Dengan kondisi tersebut, ia mengatakan praktis pemerintah hanya punya sisa waktu satu bulan untuk banting setir supaya Indonesia tak masuk daftar negara resesi di tengah pandemi virus corona.
"Untuk itu, kuartal III 2020 yang kami masih punya waktu satu bulan, Juli, Agustus, September 2020 Kami masih punya kesempatan di September 2020. Kalau masih berada pada posisi minus, artinya Indonesia masuk resesi," ungkap Jokowi dalam video conference, Selasa (1/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski terdengar mendebarkan, bagi para pengusaha, ancaman resesi pada kuartal III 2020 bukan lagi berita besar. Mereka pasrah dengan kondisi itu.
Pasalnya, pasar dan ekonomi masyarakat memang sedang kurang darah akibat tertekan corona. Tekanan kemungkinan baru bisa diatasi setelah vaksin virus Corona diproduksi massal.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan pesimisme tersebut adalah ekspresi yang wajar mengingat penambahan kasus baru Covid-19 di dalam negeri kian hari kian meningkat.
Apalagi, di tengah peningkatan tekanan itu, belanja pemerintah mendorong ekonomi supaya tetap tumbuh juga banyak sendat. Padahal di tengah menurunnya daya beli serta kecenderungan kelas menengah atas untuk menahan konsumsi, serapan anggaran pemerintah jadi andalan pertumbuhan ekonomi yang bisa diharapkan.
"Kalau sekarang tidak usah menunggu kuartal tiga selesai, ini sudah resesi teknikal," ujarnya kepada CNNIndonesia.com Senin (7/9).
Menurut Benny dampak resesi sebenarnya sudah dialami banyak korporasi terutama di sektor industri. Meski aktivitas manufaktur terlihat kembali bergeliat dengan naiknya Purchasing Managers Index (PMI) dari IHS Markit, rendahnya permintaan tetap membuat banyak pabrik kelabakan.
Industri otomotif yang mencatat kenaikan penjualan (wholesales) hingga 100 persen secara bulanan pada Juli lalu adalah salah satunya. Jika dibandingkan periode sama tahun 2019, penjualan otomotif sepanjang Januari-Juli 2020 tercatat masih anjlok 50,1 persen.
Imbasnya sebagian pabrik mulai melakukan efisiensi pegawai karena produksi harus dipangkas. Itu lah sebabnya pada akhir Juli lalu Kemenaker mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan mencapai 3,5 juta orang.
Sementara di saat yang bersamaan ada pula mulai kesulitan membayar angsuran kreditnya ke perbankan.
"Yang paling parah saya lihat otomotif, ya. Karena, kan, mereka kan sekunder lah. Terakhir dibelinya. Ketika daya beli menurun, orang punya uang buat apa? Engga mungkin beli mobil," ucapnya.
Tentu tak semua sektor mengalami nasib serupa. Sektor usaha seperti makanan dan minuman serta obat-obatan, kata Benny, masih tetap tumbuh bahkan lebih pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut tak hanya terjadi pada usaha dengan berskala besar melainkan juga UMKM.
Namun, perlu dicatat, tumbuhnya dua sektor usaha itu merupakan fenomena alamiah dan terjadi tanpa adanya intervensi pemerintah. Ia justru mempertanyakan lambannya bantuan pemerintah kepada UMKM yang menguasai 90 persen perdagangan di Indonesia.
Per 4 September 2020, misalnya, realisasi anggaran Rp123,46 triliun untuk sektor UMKM baru terserap Rp52,03 triliun atau 42,14 persen.
Di luar itu, menurutnya, pemerintah juga masih lamban memberikan bantuan untuk dunia usaha lewat restrukturisasi serta penjaminan kredit baru.
"Sampai sekarang belum terlalu terasa. Katakanlah yang penjaminan, kami belum tahu bagaimana skemanya kalau untuk pengusaha yang besar-besar. Belum ada," akunya.
Pendapatan senada disampaikan Ketua Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun. Menurutnya, meski koreksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ini tak akan separah kuartal sebelumnya, tapi banyak pelaku UMKM yang sudah gulung tikar dan akan sulit untuk kembali membuka usahanya.
Pasalnya permintaan belum tumbuh dan bantuan kredit murah dari pemerintah tak menarik minat mereka karena khawatir justru bakal menambah beban utang.
Karena itu lah ia tak muluk-muluk meminta pemerintah menyusun bantuan kredit modal usaha bagi UMKM. Menurutnya program yang paling efektif justru bantuan produktif sebesar Rp2,4 juta kepada pedagang cilik atau pelaku usaha mikro terdampak pandemi.
Bantuan tersebut sudah dimulai sejak Agustus lalu.
"Sekarang sudah terserap semua apa belum yang Rp123,4 triliun? Ada listrik dan lain-lain, nah ini dulu dihabiskan. Saya bicara dengan bank juga mereka punya keluhan kesulitan. Pertama karena mereka unbankable dan kedua mereka mikir orang nahan konsumsi," tuturnya.
Sementara itu untuk mendorong konsumsi ia meminta pemerintah mempercepat penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) untuk pekerja bergaji di bawah Rp5 juta per bulan.
Dengan banyaknya uang tunai yang beredar di masyarakat, ia yakin konsumsi juga akan meningkat. Terutama kepada sektor-sektor usaha yang mengalami pukulan cukup keras seperti transportasi hingga pariwisata seperti hotel dan restoran.
Kemudian ia juga menyarankan pemerintah mempercepat belanja kementerian/lembaga untuk produk-produk UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM di bawah Teten Masduki diharapkan bisa lebih cepat mendorong pelaku UMKM masuk ke e-catalog dan memetakan sektor UMKM mana saja yang dibutuhkan untuk penyerapan anggaran pemerintah.
"Mana yang diperlukan lagi, harus dipetakan. Di institusi pendidikan butuh apa? Di kementerian kesehatan butuh apa? Apa aja yang mau diserap? Kalau seragam dan makanan untuk kementerian itu kan sudah ada, sekarang apa lagi? di Kementan misalnya, atau di kementerian BUMN harus dipetakan," terang Ikhsan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memprediksi pemulihan ekonomi Indonesia akan berjalan lebih lambat dari perkiraan. Menurutnya, sepanjang 2020 ini ekonomi bakal tumbuh negatif di kisaran minus 2 persen hingga minus 1 persen.
Lihat juga:Jokowi Bersiap Hadapi Resesi September Ini |
Sepanjang 2020 perusahaan yang masih bisa bertahan hidup hanya akan mampu membayar biaya operasional seperti gaji karyawan namun tetap tidak dapat mengantongi keuntungan.
Sementara perusahaan yang tutup di tahun ini terutama di sektor pariwisata baru akan mulai bangkit di tahun depan. Itu sebabnya, menurut dia, harus ada langkah extraordinary dalam penanganan kesehatan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Sedangkan untuk perekonomian yang bisa dilakukan pemerintah lagi-lagi hanya mempercepat penyaluran dana pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang telah disiapkan serta memastikan realisasinya tepat sasaran.
Dengan begitu perusahaan-perusahaan yang bertumbangan selama resesi bisa di tekan. "Itu pun jika tak ada gelombang kedua virus Corona seperti yang ditakutkan selama ini," ucap Rendy.
Ia juga menyarankan pemerintah untuk mengembangkan sektor teknologi dan informasi di tahun depan untuk mendukung strategi percepatan pemulihan ekonomi. Hal ini bukan hanya karena IT tumbuh cukup tinggi selama masa pandemi, melainkan juga karena sektor ini dapat menjadi katalisator pertumbuhan bagi sektor usaha lainnya.
"Dengan sistem IT yang kuat, maka sektor usaha lainnya dapat ikut terakselerasi. Misalnya elektronik lewat e-commerce bisa tetap tumbuh, fashion, makanan dan lain-lain juga," tandasnya.
(hrf/agt)