Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRR) di posisi 4 persen pada September 2020. Begitu pula dengan tingkat suku bunga deposit facility dan bunga lending facility masing-masing tetap di 3,25 persen dan 4,75 persen.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRR sebesar di posisi 4 persen," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil RDG BI periode September 2020 secara virtual, Kamis (17/9).
Perry mengatakan keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang mulai membaik, tercermin dari China dan AS, meski Jepang dan Eropa belum kuat. Hal ini juga tercermin dari mulai landainya pertambahan jumlah kasus positif virus corona atau covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Melihat Bunga Kredit Bank-bank Besar |
"Sejumlah indikator mengindikasikan prospek positif ekonomi global, seperti peningkatan mobilitas, PMI di China dan AS. Ini mendorong harga komoditas dan peningkatan ekspor di berbagai negara," ujarnya.
Di pasar keuangan global masih tinggi dipengaruhi isu geopolitik AS-China hingga Brexit di Inggris. Hal ini mempengaruhi aliran modal ke negara berkembang dan tekanan terhadap mata uang, termasuk Indonesia.
Selanjutnya, bank sentral nasional juga mempertimbangkan kinerja ekspor yang mulai meningkat di dalam negeri. Konsumsi rumah tangga juga meningkat berkat pemberian bantuan sosial (bansos) hingga gaji ke-13.
"Secara spasial, perbaikan ekonomi tercatat di luar Jawa yang memiliki komoditas ekspor," imbuhnya.
BI juga mempertimbangkan indikator lain, seperti defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang diperkirakan lebih rendah di bawah 1,5 persen dari PDB. Begitu juga neraca perdagangan yang surplus US$2,33 miliar pada Agustus 2020.
Lalu, aliran portofolio asing di kuartal III 2020 tercatat net inflow sebesar US$130 juta pada akhir bulan lalu. Posisi cadangan devisa Indonesia meningkat US$137 miliar pada Agustus 2020.
"Ini berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor," terangnya.
Selanjutnya, nilai tukar rupiah tercatat depresiasi 1,85 persen secara point-to-point (p-to-p) dari akhir Juli 2020 atau terdepresiasi 6,24 persen dibandingkan akhir Desember 2019. Pelemahan karena masih tingginya ketidakpastian pasar global dan risiko domestik.
"BI memandang rupiah akan menguat karena masih undervalued, didukung inflaisi rendah dan defisit transaksi berjalan yang akan rendah," tuturnya.
Kemudian, pertimbangan juga melihat kondisi inflasi sebesar 0,93 persen secara tahun berjalan dan 1,32 persen secara tahunan pada bulan lalu. BI memperkirakan inflasi sebesar 3 persen plus minus 1 persen pada 2020-2021.
Di sisi lain, BI turut menilai kondisi pasar keuangan. Menurutnya, likuiditas cenderung stabil karena kebijakan BI.
"BI sudah tambah likuiditas atau quantitative easing sebesar Rp662,1 triliun dari GWM Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp491,3 triliun," terangnya.
Rata-rata suku bunga deposito dan kredit modal kerja turun dari masing-masing menjadi 5,49 persen dan 9,44 persen pada Juli 2020. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,22 persen (gross) atau 1,15 persen (net).
Indikator perbankan juga terpantau stabil. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank sebesar 22,96 persen pada Juli 2020.
Kemudian, pertumbuhan kredit bank turun menjadi 1,04 persen. Sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) melejit jadi 11,64 persen pada Juli 2020.
"Penyaluran kredit dari sektor keuangan masih rendah sejalan dengan kinerja dunia usaha dan korporasi yang masih mengalami tekanan serta kehati-hatian perbankan," tandasnya.