Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk panitia seleksi (pansel) calon anggota dewan pengawas dan dewan direksi BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sengaja dilakukan karena masa tugas dewan pengawas dan direksi BPJS Ketenagakerjaan saat ini akan habis tahun depan.
Pembentukan pansel tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 98/P 2020 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Pengawas dan Calon Anggota Dewan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Beleid tersebut diteken Jokowi pada 21 September 2020.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan direksi BPJS Ketenagakerjaan yang baru nantinya harus bisa meyakinkan pemerintah bahwa regulasi yang dibuat harus konsisten. Artinya, tidak tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, Timboel melihat kebijakan yang diterbitkan pemerintah masih saling bertabrakan satu sama lain. Salah satunya soal jaminan sosial bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang berada di PT Taspen (Persero).
Timboel menjelaskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial mewajibkan pemberi kerja penyelenggara negara mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun, dan jaminan kematian (JKM) secara bertahap.
Namun, aturan itu berbeda dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2015 tentang JKK dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS. Dalam aturan itu, PNS bisa mendapatkan program JKK dan JKM di Taspen.
"Jadi aturannya bertabrakan. Perpres 109 bertabrakan dengan PP 70. Jadi direksi baru harus meyakinkan pemerintah kalau sudah ada aturan sebelumnya kenapa harus ada aturan baru lagi," ungkap Timboel kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/9).
Lagipula, Timboel menganggap negara sebenarnya untung jika mewajibkan jaminan sosial PNS berada di bawah tanggung jawab BPJS Ketenagakerjaan. Pasalnya, negara bisa mendapatkan diskon 99 persen dari program JKN dan JKK di tengah pandemi virus corona.
Aturan diskon itu tertuang dalam PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
"Untuk JKK dan JKN yang bayar adalah pemberi kerja, kalau swasta ya perusahaan, kalau PNS artinya negara. Kalau PNS di BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah akan dapat relaksasi itu, diskon 99 persen," jelas Timboel.
Selain itu, Timboel menyatakan calon direksi BPJS Ketenagakerjaan juga harus memiliki inovasi dalam mengelola dana di lembaga tersebut. Hal ini khususnya mengelola uang itu dan memilih instrumen investasi yang tepat agar tetap meraup untung.
Lihat juga:8,5 Juta Pekerja Sudah Terima Transfer BLT |
"Investasi harus ditingkatkan, karena imbal hasilnya bisa berpengaruh juga ke layanan. Ini kan BPJS Ketenagakerjaan mengelola uang cukup besar," jelas Timboel.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan direksi BPJS Ketenagakerjaan harus memiliki integritas tinggi. Direksi harus mampu mengelola dana masyarakat dan menginvestasikannya pada instrumen yang menguntungkan.
"Integritas penting karena terkait dana yang cukup besar, sehingga harus ada integritas," tutur Bhima.
Lalu, direksi BPJS Ketenagakerjaan juga harus memiliki pengetahuan mengenai kebutuhan lembaga tersebut. Bhima menyebut mereka harus memiliki inovasi tinggi.
"Harus inovatif karena ke depan pekerja butuh banyak layanan yang lebih baik," imbuh Bhima.
Ia menambahkan BPJS Ketenagakerjaan memiliki tantangan cukup besar dalam beberapa tahun ke depan. Salah satunya adalah jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup tinggi.
"Klaim BPJS Ketenagakerjaan akan meningkat, jadi harus ada persiapan lebih dini. Harus atur strategi agar likuiditas tetap terjaga," jelas Bhima.