Bank Dunia memproyeksi lebih dari sepertiga rumah tangga di Indonesia makan lebih sedikit dari biasanya karena kekurangan uang dan sumber daya lain. Alasan lainnya, yakni kehabisan makanan.
Survei lanjutan Bank Dunia menunjukkan proporsi rumah tangga yang menghadapi kekurangan pangan telah turun antara Mei atau awal Juni, namun lebih dari seperempat rumah tangga dilaporkan masih kekurangan makanan.
"Kerawanan pangan dapat didorong oleh hilangnya pendapatannya," tulis Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Matto, dalam laporan bertajuk Ekonomi Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober 2020, dikutip Selasa (29/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk pertumbuhan ekonomi RI sepanjang tahun, Bank Dunia memprediksi minus 1,6 persen. Dalam skenario terburuk, bahkan kontraksinya tembus minus 2 persen.
Proyeksi ini sama persis dengan yang disampaikan kebanyakan ekonom di dalam negeri, seiring dengan masuknya RI ke fase resesi pada kuartal ketiga.
Padahal, pada Juli lalu, Bank Dunia memandang ekonomi RI masih bisa bertahan di kisaran nol persen.
"Pemulihan perekonomian, umumnya terkait dengan seberapa efisien penyakit (covid-19) diatasi dan bagaimana negara-negara yang terpapar mengatasi guncangan eksternal," imbuh dia.
Sementara, untuk tahun depan, Bank Dunia memproyeksi ekonomi RI akan pulih dengan pertumbuhan 4,4 persen. Namun, apabila skenario yang terburuk yang terjadi, maka kemungkinan ekonomi tahun depan mentok di kisaran 3 persen.
Menurut Aaditya, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2021 nanti sangat bergantung pada pengendalian penyebaran covid-19, termasuk percepatan ketersediaan vaksin corona.
Secara keseluruhan, kawasan Asia Timur dan Pasifik diproyeksi bertumbuh hanya 0,9 persen pada tahun ini. Angka ini, berdasarkan catatan Bank Dunia, merupakan yang terendah sejak 1967 silam.
China diprediksi masih mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen yang didorong belanja pemerintah, ekspor yang kuat, serta angka yang rendah pada kasus penularan baru sejak Maret.
Meski demikian, konsumsi domestiknya masih cenderung lambat dan menjadikan posisi mitra dagangnya kurang menguntungkan.
Kecuali China, negara-negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik diprediksi mengalami kontraksi sebesar 3,5 persen. Dalam skenario lebih buruk, angkanya dapat mencapai kontraksi 4,8 persen.
Bank Dunia menyebut prospek kawasan Asia Timur dan Pasifik lebih cerah pada tahun depan dengan pertumbuhan diharapkan mencapai 7,9 persen di Cina dan 5,1 persen di negara-negara lain di kawasan ini.
Namun, output diproyeksikan tetap berada di bawah angka proyeksi sebelum pandemi selama dua tahun ke depan.
Prospek tidak baik terutama terjadi pada beberapa negara di Kepulauan Pasifik yang sangat terdampak. Output mereka diprediksi tetap berada di 10 persen di bawah angka sebelum krisis, selama 2021.
Dua di antaranya adalah Indonesia dan Filipina. Indonesia belum memberlakukan penutupan wilayah yang ketat, sedang Filipina telah mengalami siklus penguncian dan pembukaan kembali yang ketat.
Kedua negara memiliki keuntungan dari populasi muda tetapi menderita dari sektor informal yang besar dan kondisi kehidupan yang buruk untuk sebagian besar dari populasi mereka.
Indonesia jauh lebih sedikit terbuka dibandingkan Filipina ke seluruh dunia melalui perdagangan, pariwisata, dan pengiriman uang. Oleh karena itu, output Indonesia diproyeksikan tidak terlalu terpengaruh dibandingkan Filipina, tetapi prospeknya tidak pasti.