Sekretaris Eksekutif Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Raden Pardede menilai Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) tak akan efektif mendongkrak investasi apabila pandemi covid-19 masih belum bisa diatasi di Indonesia.
Sebab, rendahnya daya beli masyarakat akibat pandemi membuat banyak pemodal menahan investasinya di berbagai negara. Imbasnya, kemudahan berbagai perizinan yang diatur dalam rancangan beleid tersebut tak akan banyak dimanfaatkan dan penciptaan lapangan kerja yang diharapkan belum akan bertambah signifikan.
"Penciptaan lapangan kerja yang kita harapkan dalam jumlah yang cukup besar itu pasti setelah covid-19 selesai," ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar PC-PEN bertajuk Daya Beli Masyarakat di Tengah Pandemi, Senin (5/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurutnya, undang-undang tersebut tetap dibutuhkan sebagai antisipasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Ia menyebut, misalnya, berbagai lembaga multilateral telah memprediksi Indonesia bakal memasuki fase pemulihan ekonomi pada 2021 dan 2022.
Dalam kurun tersebut penting untuk pemerintah memiliki aturan yang mempercepat berbagai proses birokrasi untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Jika baru dipersiapkan setelah pemulihan ekonomi selesai, ia justru khawatir Indonesia tak bisa mengejar pertumbuhan ekonomi negara-negara lain. "Kalau nanti pas dibutuhkan 2021 atau 2022 yang kita harapkan pemulihan sudah terjadi kalau sudah baru disusun di situ kita akan terlambat, itu yang kami antisipasi," ucapnya.
Sebagai informasi, RUU Ciptaker telah disahkan untuk menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR yang berlangsung hari ini.
Namun, beleid tersebut masih banyak mendapat penolakan terutama dari kelompok buruh. Mereka menilai sejumlah pasal pada RUU tersebut bakal membuka peluang bagi pemberi kerja atau perusahaan untuk lari dari tanggung jawabnya.
Salah satunya soal membayar pesangon terhadap karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti tercermin pada dihapusnya sejumlah pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan penghapusan sejumlah pasal di UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian pesangon itu seolah melegitimasi celah bagi pengusaha untuk mangkir dari pemberian pesangon kepada pekerja atau buruh.
"Otomatis bukan peluang lagi, pengusaha justru diberikan kekuatan hukum secara undang-undang. Artinya, pengusaha sudah dengan gampang dia bisa menghilangkan (pesangon), kemungkinan celah potensi itu ada dan bisa dilakukan oleh pengusaha," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Secara umum, ia juga menilai RUU Ciptaker sebagai kemunduran bagi kesejahteraan buruh. Menurutnya, seharusnya kesejahteraan pekerja atau buruh dijamin oleh negara namun faktanya sebaliknya.
Di sisi lain, ia mengatakan pembahasan RUU Ciptaker di tingkat paripurna ini terkesan terburu-buru di tengah pandemi covid-19. Pasalnya, menurutnya semua negara justru fokus pada penanganan pandemi, alih-alih membahas aturan ketenagakerjaan.
"Kalau ini kan kesannya terburu-buru, apalagi tidak ada urgensi, sekarang paripurna dipercepat ini kan sebuah tanda tanya besar, kenapa harus buru-buru padahal urgensinya tidak ada," tegasnya.