Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR dan pemerintah pada hari ini, Senin (5/10).
Namun, sejumlah pasal pada beleid itu justru membuka peluang bagi pemberi kerja atau perusahaan untuk tidak membayar pesangon. Ini tercermin pada sejumlah pasal di RUU Ciptaker yang menghapus sejumlah pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan penghapusan sejumlah pasal di UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian pesangon tersebut seolah melegitimasi celah bagi pengusaha untuk mangkir dari pemberian pesangon kepada pekerja atau buruh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Otomatis bukan peluang lagi, pengusaha justru diberikan kekuatan hukum secara undang-undang. Artinya, pengusaha sudah dengan gampang dia bisa menghilangkan (pesangon), kemungkinan celah potensi itu ada dan bisa dilakukan oleh pengusaha," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Secara umum, ia menilai RUU Ciptaker sebagai kemunduran bagi kesejahteraan buruh. Menurut dia, seharusnya kesejahteraan pekerja atau buruh dijamin oleh negara, tapi faktanya sebaliknya. Bahkan, aturan mengenai pemberian pesangon dihapuskan.
Di sisi lain, ia mengatakan pembahasan RUU Ciptaker di tingkat paripurna ini terkesan terburu-buru di tengah pandemi covid-19. Padahal, semua negara justru fokus pada penanganan pandemi, alih-alih membahas aturan ketenagakerjaan.
"Kalau ini kan kesannya terburu-buru, apalagi tidak ada urgensi, sekarang paripurna dipercepat ini kan sebuah tanda tanya besar, kenapa harus buru-buru padahal urgensinya tidak ada," imbuhnya.
Untuk diketahui, RUU Ciptaker menghapus setidaknya 5 pasal mengenai pemberian pesangon.
Pertama, pasal 51 RUU Ciptaker menghapus ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan. Pasal yang dihapus berisi aturan terkait penggantian uang pesangon bagi pekerja yang mengundurkan diri.
Dalam pasal 162 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan pekerja atau buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
Namun, pekerja atau buruh yang mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat, antara lain mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
Lalu, pengunduran pekerja sedang tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Kedua, pasal 52 RUU Ciptaker menghapus pasal 163 di UU Ketenagakerjaan terkait dengan pemberian uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak apabila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan.
Dalam pasal 163 ayat 1 disebutkan jika pekerja atau buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja usai aksi korporasi tersebut, maka pekerja atau buruh berhak atas uang pesangon, uang perhargaan masa kerja, serta uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
Begitu pula, jika pengusaha tidak bersedia menerima pekerja atau buruh di perusahaannya usai aksi korporasi itu, maka pekerja atau buruh tetap berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Ketiga, pasal 53 RUU Ciptaker juga menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian uang pesangon apabila perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur).
Untuk diketahui, pasal 164 UU Ketenagakerjaan menyebutkan pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tutup, yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau force majeur.
Selanjutnya, pekerja atau buruh yang mengalami PHK itu berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
Hal serupa juga berlaku apabila perusahaan melakukan PHK karena perusahaan melakukan efisiensi, bukan karena mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut atau force majeur. Atas kondisi itu, pekerja atau buruh berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Keempat, pasal 54 RUU Ciptaker juga menghapus pasal 165 UU Ketenagakerjaan terkait pemberian uang pesangon jika perusahaan pailit.
Secara rinci pada pasal 165 UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan pailit. Namun, pekerja atau buruh yang kena PHK berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan dan uang penggantian hak.
Kelima, pasal 55 UU Ciptaker juga menghapus pasal 166 UU Ketenagakerjaan tentang pemberian pesangon bila buruh meninggal dunia. Pada pasal 166 UU Ketenagakerjaan disebutkan jika pekerja atau buruh meninggal dunia, maka ahli waris berhak mendapatkan sejumlah uang yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
CNNIndonesia.com telah meminta tanggapan pada Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono dan Staf Bidang Hubungan Ekonomi Politik Hukum dan Keamanan Kemenko Bidang Perekonomian Ellen Setiadi atas penghapusan pasal-pasal tersebut. Namun, yang bersangkutan belum memberikan jawaban.