Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) terus menjadi perdebatan di masyarakat, khususnya buruh. Salah satu poin yang cukup jadi perhatian buruh adalah pembayaran pesangon bagi korban PHK.
Pasalnya, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengungkapkan besaran maksimal pesangon berkurang dari 32 bulan upah menjadi hanya 25 bulan upah di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja. Ini karena pemerintah menghapus sejumlah pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Mengutip draf UU Omnibus Law Cipta Kerja, salah satu poin yang diubah dalam uu itu adalah Pasal 156 Ayat 4. Pemerintah menghilangkan poin terkait uang penggantian hak yang seharusnya diterima dari penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan cuma itu. Pemerintah juga menghapus Pasal 163 dan 164 di UU Ketenagakerjaan. Padahal, Pasal 163 Ayat 2 menyatakan buruh dapat memperoleh pesangon dua kali lipat dari yang seharusnya jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perubahan status, penggabungan atau peleburan tetapi pengusaha tak bersedia menerima buruh di perusahaannya.
Kemudian, dalam Pasal 164 Ayat 3 menjelaskan pengusaha dapat melakukan PHK jika perusahaan tutup bukan karena kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa dengan ketentuan buruh berhak atas pesangon dua kali lipat dari yang seharusnya diterima.
"Poin Pasal 156 Ayat 4 diubah, hak pengganti sebesar 15 persen tidak ada. Pasal 163 dan Pasal 164 dihapus. Pesangon turun," ungkap Timboel kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/10).
Ia menjelaskan nilai pesangon ditambah dengan uang penghargaan dan uang penggantian hak dalam UU Ketenagakerjaan jumlah maksimalnya mencapai 32,2 bulan upah. Sebagai gambaran, A yang sudah bekerja 8 tahun atau lebih terkena PHK berarti berhak atas pesangon 9 bulan upah.
Kebetulan, A terkena PHK karena perusahaan melakukan peleburan dan manajemen tak bisa menerimanya lagi untuk bekerja. Dengan kasus ini, maka A berhak atas dua kali dari total pesangon yang ia terima, yakni 9x2 menjadi 18 bulan upah.
Kemudian, ditambahkan dengan uang penghargaan untuk pekerja yang sudah bekerja 24 tahun atau lebih sebesar 10 bulan upah, yakni 18 bulan upah ditambah 10 bulan upah maka totalnya menjadi 28 bulan upah.
Lalu, ditambah lagi dengan uang penggantian hak berupa penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15 persen dari pesangon atau uang penghargaan, yakni 15 persen dikalikan 28 bulan upah. Alhasil, totalnya mencapai 32,2 bulan upah.
"Tapi itu untuk yang bekerja 24 tahun. Jadi total pesangon 32,2 bulan upah itu tidak semua dapat juga," imbuh Timboel.
Sementara, dengan perubahan dan penghapusan sejumlah pasal di UU Ketenagakerjaan, maka Timboel menghitung maksimal pesangon yang bisa dibawa pulang ke rumah hanya 25 bulan upah. Itu pun, sebagian dibayarkan pemerintah.
Di sini, pengusaha hanya mendapat kewajiban membayar pesangon maksimal 19 kali upah. Sementara, sisanya 6 bulan upah menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pembayaran pesangon dari pemerintah diberikan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program itu berada di bawah tanggung jawab BPJS Ketenagakerjaan.
Yang menjadi masalah, sambung Timboel, apakah uang tunai yang diberikan kepada korban PHK dari program JKP perhitungannya sama seperti aturan sebelumnya atau tidak. Misalnya, A berhak mendapatkan pesangon 25 bulan upah.
Artinya, A dapat pesangon sebanyak 19 bulan upah dari perusahaan dan 6 bulan upah dari pemerintah. Jika upah A Rp4,5 juta per bulan, berarti pemerintah wajib membayar Rp27 juta.
"Kalau gajinya Rp4,5 juta, ketika PHK dan diurus oleh program JKP, apakah hitungannya sama Rp4,5 juta juga? Belum tentu, percaya deh," kata Timboel.
Sementara, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat khawatir pekerja nantinya akan diwajibkan membayar iuran untuk bisa mendapatkan uang pensiun dari program JKP. Jika demikian, maka beban buruh otomatis bertambah.
"Tambahan pesangon dari BPJS Ketenagakerjaan itu kami bayar iuran tidak. Saya tidak yakin pekerja tidak perlu bayar iuran, pemerintah uang dari mana?" kata Mirah.
Mirah mengaku tak yakin bila pemerintah terus-terusan menanggung iuran uang pesangon buruh di BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, jumlahnya tak sedikit dan bisa membuat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bengkak.
"APBN jebol, makanya kalau saya pikir pakai logika, ya iuran," imbuh Mirah.
Mengutip draf UU Omnibus Law Cipta Kerja, sumber pendanaan JKP berasal dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial dan/atau dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan modal awal untuk program JKP ditetapkan sebesar Rp6 triliun. Dana itu berasal dari APBN.
"Terkait JKP, akan diambil dari APBN paling besar Rp6 triliun," kata Ida.
Ida menyatakan JKP akan membawa manfaat bagi korban PHK. Sebab, ada pelatihan gratis yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat yang terkena PHK.
Selain itu, pemerintah juga memberikan akses penempatan pasar kerja atau penyaluran kerja kepada korban PHK. Artinya, korban PHK berpotensi mendapatkan pekerjaan lagi.
![]() Infografis UU Ketenagakerjaan vs Omnibus Law Cipta Kerja. (CNN Indonesia/Timothy Loen). |
"Ketika orang terkena PHK yang dibutuhkan adalah akses penempatan pasar kerja yang dikelola oleh pemerintah, sehingga kebutuhan dia ketika alami PHK, maka dia akan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan baru," jelas Ida.
Harus Bayar Iuran
Sementara, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengingatkan pemerintah agar mewajibkan buruh membayar iuran dalam program JKP. Jika tidak, maka keuangan BPJS Ketenagakerjaan bisa terancam.
"Kalau tidak dipungut iuran, maka (BPJS Ketenagakerjaan) tidak akan berkelanjutan," kata Fithra.
Menurutnya, perlu ada tahapan bagi pekerja membayar iuran program JKP. Misalnya, pemerintah hanya membayarkan untuk beberapa tahun saja. Setelah itu, pada tahun tertentu buruh harus mulai bayar iuran JKP.
"Harus ditentukan juga sektor mana saja yang harus bayar, ada subsidi juga antar sektor. Yang jelas ketika ada iuran, dana bisa dimanfaatkan diputar dan mendapatkan return untuk bayar kompensasi-kompensasi yang ada," jelas Fithra.
Secara keseluruhan, Fithra tak menampik kalau aturan pesangon sangat menguntungkan pengusaha. Pasalnya, kini pengusaha hanya perlu membayar pesangon maksimal 19 bulan upah, turun dari sebelumnya yang mencapai 32 bulan upah.
Sementara, 6 bulan upah akan menjadi tanggung jawab pemerintah lewat program JKP. Kendati menguntungkan pengusaha, tapi Fithra menilai skema pesangon yang baru ini juga memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena PHK.
"Uang pesangon di Indonesia itu paling mahal, memang turun di aturan baru dari 32 bulan upah jadi 25 bulan upah, tapi ada kompensasi lain dari JKP. Ada jaminan disalurkan ke tempat kerja lain," kata Fithra.
Lagipula, selama ini hanya sedikit perusahaan yang mampu membayar karyawannya dengan pesangon sebesar 32 bulan upah. Kemampuan industri di Indonesia terbilang terbatas.
Jadi, kalau ditanya apakah penurunan jumlah pesangon yang harus dibayarkan pengusaha ke buruh ini akan mendorong perusahaan untuk melakukan lebih banyak PHK di masa pandemi covid-19, Fithra bilang itu belum tentu.
Memang, banyak perusahaan yang keuangannya tertekan di tengah covid-19. Alhasil, mereka harus melakukan efisiensi demi mengurangi biaya operasional setiap bulannya.
Lihat juga:Pengusaha Ancam PHK Buruh yang Mogok Kerja |
Salah satu cara paling mudah memangkas biaya operasional adalah dengan melakukan PHK atau merumahkan karyawan. Dengan begitu, jumlah gaji yang harus dibayar akan berkurang.
"Tapi belum tentu (banyak) PHK, karena perusahaan untuk mengeluarkan dana besar lagi itu mahal, meskipun uang pesangon yang harus dibayar misalnya turun dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah itu tetap saja masih mahal," jelas Fithra.
Sementara, Ekonom Perbanas Institute Piter Abdullah memandang penurunan jumlah pesangon sebenarnya bukan perkara besar. Sebab, selama ini juga banyak perusahaan yang tak mampu membayar pesangon hingga 32 bulan upah.
Lihat juga:Buruh Respons Ancaman PHK dari Pengusaha |
"Ini yang tertinggi di dunia, banyak yang tak bisa menyanggupi membayar juga," kata Piter.
Hal itu, tambah dia, justru membuat investor takut untuk berinvestasi di Indonesia. Jika investor takut, maka peningkatan penciptaan lapangan kerja akan sulit dilakukan.
"Jadi untuk apa berikan janji besar (ke pekerja dapat pesangon banyak) tapi (pemerintah) tidak bisa menciptakan lapangan kerja. Jangankan dapat pesangon, lapangan kerja saja tidak ada jadinya nanti," pungkas Piter.
(agt)