Pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta (RUU Ciptaker) menjadi uu di Rapat Paripurna awal pekan kemarin. Uu baru itu mengatur banyak hal.
Salah satunya soal hak pesangon buruh yang terkena PHK. Catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), uu baru itu telah menyunat nilai pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari yang awalnya sebanyak 32 bulan upah menjadi tinggal 25 bulan saja.
Dari 25 bulan upah itu pun, yang dibayar perusahaan hanya sebanyak 19 bulan upah. Sementara, 6 bulan sisanya dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Atas dasar itulah, pihaknya menolak keras keputusan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain soal pesangon, uu juga mengatur formula penetapan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan penghapusan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
Pengaturan- pengaturan itu memicu keberatan dari kalangan buruh. Untuk itu, serikat pekerja sepakat untuk melakukan aksi mogok pada 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020 guna memprotes pengesahan ruu tersebut.
Untuk 6-7 Oktober 2002, aksi mogok akan dilakukan dengan melakukan unjuk rasa di berbagai kawasan industri dan perusahaan di seluruh wilayah. Sedangkan aksi 8 Oktober 2020 akan dilakukan di DPR.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manile mengatakan wajar buruh keberatan dengan poin yang diatur pemerintah dan DPR dalam UU Cipta Kerja. Pasalnya, hasil akhir pembahasan RUU Ciptaker yang selama ini digadang-gadang pemerintah bisa menggenjot investasi dan ekonomi itu ternyata banyak yang berpotensi merugikan kaum buruh.
Poin merugikan itu salah satunya menyangkut uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Selain itu, ada juga soal biaya atau ongkos pulang pekerja ke tempat di mana mereka diterima kerja.
Ada juga soal kepastian cuti haid dan cuti hamil, penyelesaian hubungan perselisihan, penghapusan pesangon, dan lainnya. Ia mengatakan bila hak mengenai kesejahteraan buruh saja dikurangi dalam uu tersebut, bukan tidak mungkin kehidupan dan penghasilan buruh ke depan semakin tak ideal.
Ia mengakui berkurangnya komponen hak pekerja yang harus ditanggung dunia usaha dalam beleid tersebut bisa merangsang investor menanamkan dananya di dalam negeri. Namun, bukan tidak mungkin juga itu itu membuat pekerjaan yang diciptakan tidak ideal dan memberikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh di masa depan.
"Ironi, ruu ini untuk tenaga kerja, tapi buruh justru tidak merasakan keberpihakan," ungkapnya.
Tak hanya soal nasib buruh, Yusuf pun ragu pembenahan aturan di bidang ketenagakerjaan di RUU Ciptaker nantinya bisa langsung menarik investasi ke Indonesia. Apalagi bila melihat fenomena selama; komitmen investasi banyak didapat, tapi realisasinya minim dan bahkan banyak yang mangkrak.
Ia mengatakan masalah itu tak lepas dari persoalan di berbagai sektor dan birokrasi di dalam negeri yang rumit.
"Investasi itu tren masih meningkat secara nominal, beberapa sektor masih tumbuh, tapi masalahnya tidak banyak mengalir ke manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja. Ini karena masalah yang beragam, bukan cuma soal ketenagakerjaan, tapi juga ongkos logistik, infrastruktur terbatas, stabilitas politik, dan lainnya, jadi ini perlu dibenahi juga," tuturnya.
Yusuf mengakui pemerintah turut membuat inisiatif untuk memberikan jaminan kehilangan pekerjaan bagi korban PHK. Namun, ia masih ragu dengan program ini karena masih baru.
"Ini cuma sekadar permainan kompensasi saja, jadi dari satu sisi diberikan, tapi banyak hal yang diambil, misalnya perusahaan bisa PHK kalau efisiensi, ini subjektif, ada potensi digunakan oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab," tuturnya.
Dari berbagai hal ini, ia melihat prospek kesejahteraan pekerja bisa jadi menurun pada waktu mendatang. Padahal, kondisi ketenagakerjaan tengah tertekan akibat pandemi virus corona atau covid-19.
Saat ini pun, gelombang PHK akibat pandemi sudah tinggi dan ekonomi Indonesia belum pulih juga dari bayang-bayang pertumbuhan negatif. Bahkan berbagai aliran bansos belum cukup mampu mengangkat masyarakat dari jerat kemiskinan yang justru bertambah di tengah pandemi.
Begitu juga dengan tingkat pengangguran yang ikut meningkat saat ini. Maka dari itu, ia melihat pemerintah harus bisa memberikan kebijakan lain yang bisa mengompensasi kesejahteraan pekerja ke depan setelah pengesahan ruu ini.
Segendang sepenarian, Ekonom INDEF Tauhid Ahmad juga ragu keberadaan UU Cipta Kerja bisa mengangkat kesejahteraan pekerja dan membuat janji penciptaan lapangan kerja dari pemerintah bisa terpenuhi.
"Untuk jangka waktu ke depan, ini pasti akan berdampak dan mengurangi kesejahteraan pekerja karena ada beberapa hal yang dikurangi. Tapi pertanyaannya, apa pengorbanannya benar-benar bisa meningkatkan investasi?" tutur Tauhid.
Ia memberi contoh. Selama ini saja, pemerintah belum bisa memastikan semua perusahaan memberikan gaji pekerja sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Padahal, itu ketentuan paling dasar yang harus dipenuhi dunia usaha.
"Kalau sebelumnya pemerintah belum bisa jamin soal itu, agar pengusaha patuh, nanti implementasi di lapangan dari ruu ini apa jaminannya?" imbuhnya.
Tak hanya itu, ia menilai kebanyakan poin yang diatur dalam ruu juga ini tidak mencerminkan kesepakatan dan titik temu yang saling menguntungkan bagi pengusaha dan pekerja.
Tauhid mengatakan persoalan investasi sebenarnya bukan hanya masalah pada beban pengusaha yang diakibatkan oleh pekerja sehingga harus diatasi dengan memberlakukan kebijakan 'tenaga kerja murah'.
Investasi dan beban usaha juga bisa timbul dari masalah birokrasi yang berbelit.
"Misalnya infrastruktur, perpajakan, produktivitas, birokrasi, itu semua masih harus diperbaiki oleh pemerintah juga. Jadi tidak serta merta kalau ruu ini disahkan, maka investasi pasti masuk, itu masih jauh," katanya.
Selanjutnya, soal pemberian jaminan kehilangan pekerjaan bagi korban PHK, Tauhid melihat ini bukan 'barteran' yang sepadan. Toh, itu memang perlu diberikan pemerintah dan sudah banyak dilakukan negara-negara lain di dunia.
"Jadi memang itu soal pesangon sementara, bansosnya, itu semua memang seharusnya diberikan. Tapi tidak cukup sampai situ, harus ada pesangon untuk pendidikan, kesehatan, skill development, dan lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut, menurut hitung-hitungan Tauhid, pengorbanan pekerja di RUU Ciptaker harus dikompensasi dengan realisasi investasi yang besar. Bila saat ini, target investasi Indonesia sekitar Rp800 triliunan, maka pemerintah harus bisa meningkatkan pertumbuhan investasi 10 persen sampai 20 persen per tahun.
"Berarti itu berkisar Rp1.000 triliun ke depan, jadi sudah ada ruu ini, maka perlu imbal balik kepada bangsa dan pastinya harus ada sumbangan penyerapan tenaga kerja, penurunan kemiskinan, dan penurunan pengangguran, serta peningkatan serapan UMKM," tandasnya.
Sekretaris Eksekutif Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Raden Pardede mengatakan efek besar RUU Ciptaker ke investasi dan penciptaan lapangan kerja akan terjadi apabila pandemi covid-19 sudah diatasi dari Indonesia.
Sebab, di masa pandemi memang daya beli masyarakat tertekan. Tekanan membuat pemodal menahan investasinya di berbagai negara termasuk Indonesia.
Imbasnya, kemudahan berbagai perizinan yang diatur dalam rancangan beleid tersebut tak akan banyak dimanfaatkan selama masa pandemi.
"Penciptaan lapangan kerja yang kita harapkan dalam jumlah yang cukup besar itu pasti setelah covid-19 selesai," ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar PC-PEN bertajuk Daya Beli Masyarakat di Tengah Pandemi, Senin (5/10).
(agt)