Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) berharap Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dapat mempercepat realisasi investasi sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).
Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar mengatakan sejumlah proses perizinan investasi sektor EBT, panas bumi misalnya, cenderung lambat di daerah. Karenanya, ia menilai penarikan sejumlah kewenangan sektor energi kepada pemerintah pusat dalam Omnibus Law Ciptaker dapat membantu mempercepat proses.
"Dengan penarikan kewenangan perizinan kembali ke pusat, kami sebenarnya berharap ada hal yang bisa mempercepat menyelesaikan investasi khususnya di panas bumi. Kami sudah pernah lihat dimana pengembangan panas bumi yang lambat saat perizinan di daerah," ujarnya dalam acara launching Virtual Indo EBTKE Conex 2020, Jumat (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan jika sektor EBT membutuhkan debirokratisasi dan deregulasi sehingga perizinan bisa dipercepat. Namun, menurutnya perizinan bukan satu satunya permasalahan pada sektor EBT, masalah lainnya adalah akses kepada pendanaan.
"Ini harapan yang kami sampaikan ke pemerintah dan direspons dengan baik, sehingga ke depan kami harap investasi bertambah," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan UU Ciptaker tersebut bisa mendorong pengembangan sektor panas bumi yang sekarang baru mencapai 2.000 MW. Selain memangkas perizinan, UU Ciptaker juga mencoba mengurangi risiko investasi pada sektor panas bumi sehingga diharapkan bisa menambah ketertarikan investor.
"Kewenangan ke pusat ini pernah dalam regulasi terkait dengan ini, kami berikan kewenangan ke daerah dan kami tahu banyak perkembangan yang tidak kita dapatkan, sehingga dilakukan perbaikan kepastian usaha dan kondisi investasi yang lebih baik dan sederhana," katanya.
Untuk diketahui, dalam UU Ciptaker pemerintah pusat mengambil kendali sejumlah aturan, meliputi panas bumi, ketenagalistrikan, serta minyak dan gas (migas).
Untuk ketentuan panas bumi, misalnya, pemerintah mengubah Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, sehingga pemerintah memiliki sejumlah kewenangan dalam penyelenggaraan panas bumi.
Meliputi, pembuatan kebijakan nasional, pengaturan di bidang panas bumi, perizinan berusaha terkait panas bumi, hingga pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, dan/atau pemanfaatan panas bumi.