Sri Mulyani Cerita Sejarah Utang dari Zaman Merdeka

CNN Indonesia
Senin, 12 Okt 2020 12:03 WIB
Menkeu Sri Mulyani menyebut RI memiliki warisan utang pemerintah kolonial sebesar US$1,13 miliar usai kemerdekaan. Padahal, PDB RI saat itu masih kecil.
Menkeu Sri Mulyani menyebut RI memiliki warisan utang pemerintah kolonial sebesar US$1,13 miliar usai kemerdekaan. Padahal, PDB RI saat itu masih kecil. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Keuangan Sri Mulyani merunut persoalan utang pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga pasca krisis keuangan Asia 1997-1998.

Ia menuturkan Indonesia memiliki warisan utang pemerintah kolonial sebesar US$1,13 miliar usai mendapat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.

Utang itu berasal dari kekayaan yang rusak akibat perang serta seluruh investasi sebelumnya yang dibekukan oleh pemerintah Belanda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belitan utang tersebut tentu sangat berat bagi sebuah negara yang baru berdaulat. Apalagi, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada saat itu masih sangat kecil.

"Waktu kita memulai pemerintahan untuk menjadi negara Indonesia yang merdeka, secara keuangan tidak dengan balance sheet yang nol," ujarnya dalam pembukaan ekspo profesi keuangan 2020, Senin (12/10).

Masa awal pemerintahan Indonesia, sambungnya, juga memakan biaya yang sangat besar lantaran masih ada konfrontasi militer. Hal itu mengakibatkan perekonomian Indonesia lebih banyak dibiayai defisit sehingga APBN mengalami tekanan luar biasa berat.

Lantaran saat itu pemerintah tak bisa langsung menjual Surat Utang Negara (SUN) untuk menambal defisit, BI ditugaskan mencetak uang dalam jumlah besar yang akhirnya menyebabkan hiperinflasi.

"Yang terjadi adalah jumlah uang beredar lebih banyak berisi ulasan atau kondisi perekonomiannya produksinya sehingga inflasi meningkat luar biasa besar," kata mantan direktur pelaksana bank dunia tersebut.

Selanjutnya pada era Orde Baru, pemerintah mulai memberlakukan mekanisme balance budget meskipun belum memiliki Undang-undang yang mengatur neraca belum dibentuk. Oleh karena itulah, belanja pembangunan dapat berjalan ketika pembiayaan dari multilateral atau bilateral.

"Secara flow, kita disiplin karena kita menyebut balance budget di mana seluruh utang untuk belanja pembangunan hanya bisa dilakukan pembiayaan dari multilateral dan bilateral. Sehingga muncul lah disiplin dari sisi berapa jumlah utang yang bisa dilakukan di setiap fiscal year-nya," tutur Sri Mulyani.

Namun, nilai tukar rupiah pada APBN selalu dipatok dengan nilai yang sama. Hal itu lah yang mengakibatkan dampak krisis keuangan Asia terhadap Indonesia sangat besar.

Ketika nilai tukar yang tidak bisa berubah tersebut tak bisa dipertahankan karena faktor fundamental pendukungnya tidak konsisten, ketika terjadi adjustment nilai tukar semua neraca baik perbankan, perusahaan hingga negara mengalami tekanan.

"Dalam berapa jam, nilai tukar rupiah berubah, itu tiba-tiba liability kita meningkat tapi aset kita tidak meningkat. Sehingga seluruh perusahaan yang cashflow-nya rupiah, sementara utangnya dalam bentuk mata uang asing, neracanya pasti akan ambyar," jelasnya.

Perbankan yang mengalami masalah sistemik tersebut kemudian mengharuskan pemerintah melakukan bailout sangat besar. Kebijakan itu juga menyebabkan biaya utang naik lagi jadi 60 persen, terutama karena kurs rupiah. 

"Pemerintah melakukan bailout untuk me-rescue seluruh sistem perbankan supaya sistem ekonomi kembali pulih ini mengakibatkan biaya utang meningkat lagi menjadi 60 persen," jelasnya.

"Selain utang pemerintah sendiri yang meningkatkan nilai tukar. Jadi waktu itu dari krisis keuangan Asia kita diwariskan apa yang disebut dengan kenaikan utang yang meningkat hingga 100 persen atau lewat 100 persen," tandasnya melanjutkan.

[Gambas:Video CNN]



(hrf/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER