Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengungkapkan porsi produk UMKM dalam ekspor terus turun. Saat ini, sumbangan UMKM kepada produk ekspor hanya tinggal 14 persen.
"Dari tahun ke tahun ekspor UMKM terus turun, kali ini tersisa 14 persen tertinggal dengan Vietnam dan Malaysia," ujarnya dalam diskusi publik Bangun UMKM di Tengah Multikrisis, Kamis (15/10).
Ia mengatakan kondisi itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan negara lain. Pasalnya, sejumlah negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan justru sukses mendorong UMKM naik kelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Syarat Daftar BLT UMKM Tahap II |
Bahkan, untuk China, produk UMKM sudah mendominasi ekspor hingga 70 persen.
Sedangkan Jepang 50 persen ekspor disumbang UMKM dan Korea Selatan hampir 40 persen. Tak hanya itu, produk UMKM di 3 negara tersebut sudah berbasis manufaktur.
"Kalau UMKM kita ini masih didominasi keripik, akik, dan batik," ucapnya.
Oleh sebab itu, ia menilai peningkatan kualitas produk UMKM bernilai ekspor melalui pendampingan perlu dilakukan. Program pendampingan ini juga sudah tercantum dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja melalui program inkubasi.
Melalui program inkubasi ini, UMKM diharapkan bisa naik kelas. Sejalan dengan pendampingan itu, UMKM juga akan didekatkan dengan akses pembiayaan.
"Kalau kami konsolidasikan semua resource-nya (sumber daya) ini, kami bisa tambahkan jumlah entrepreneur baru yang sekarang masih 3,4 persen, masih rendah dibandingkan Singapura 9 persen, Thailand serta Malaysia yang hampir 5 persen," ucapnya.
Masalah Utama UMKM
Dalam kesempatan itu, Teten juga mengungkapkan persaingan UMKM, utamanya di tataran usaha mikro meningkat di tengah pandemi covid-19. Pasalnya, jumlah usaha mikro terus bertambah lantaran sebagian masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya turun memilih membuka usaha.
"Kalau dilihat detail lagi mereka tergolong sektor informal, hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pendapatanya kalau secara rata-rata di luar sektor pertanian, itu pendapatannya di bawah UMR," imbuhnya.
Ia menuturkan ketatnya persaingan tersebut berpotensi menggerus pendapatan pelaku usaha mikro tersebut.
"Pasca pandemi itu persaingan di bawah makin ketat, jumlah warung makin banyak. Di Jakarta saja, dari 100 rumah ada 25 warung kalau ditambah lagi pendapatan bisa turun karena persaingan tinggi," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang UKM/IKM Apindo Ronald Walla menuturkan UMKM selama ini menghadapi 3 masalah utama, yaitu perizinan, pemasaran, dan pendanaan.
"Ini akumulasi permasalahan dari lama, ini sudah solusinya diberikan oleh pemerintah lewat UU Cipta Kerja," katanya.
Ia berharap pemerintah segera merampungkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi aturan teknis dari UU Cipta Kerja. Sebab, sejumlah aturan dalam UU Cipta Kerja tersebut dinilai masih bersifat umum.
"Tapi, semuanya spiritnya bagus sekali, yaitu melindungi pelaku UMKM melakukan usahanya dalam sebuah iklim usaha yang kondusif, dan ini memang menjadi tugas pemerintah," katanya.
(agt)