Sejumlah pengusaha membeberkan salah kaprah buruh dalam memahami Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang memicu aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi B Sukamdani menjelaskan soal kesalahan pemaknaan buruh terkait outsourcing yang sebelumnya dibatasi dalam Pasal 66 UU nomor 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan.
Ia menyatakan pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan tak membatasi outsourcing atau pekerja alih daya. Pasalnya, hal tersebut merupakan model bisnis yang dijalankan hampir di seluruh sektor usaha dan diterapkan di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kami melihat secara lebih objektif itu adalah bisnis model di seluruh dunia. Yang namanya outsourcing itu sesuatu yang umum dan lumrah karena dunia menuju pada spesialisasi. Jadi salah kaprah," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta Pusat, Kamis (15/10).
Menurut Haryadi, ketentuan outsourcing dalam Undang-undang Ciptaker justru mengembalikan konsep yang semula diusulkan dalam UU Ketenagakerjaan. Sebab seharusnya tak ada pembatasan melainkan perlindungan terhadap pekerja outsourcing agar terpenuhi hak-hak normatifnya.
"Dulu kan, ditulis hanya ada 5 sektor yang bisa outsourching. Seperti pekerja security, driver dan lain-lain. Itu padahal di UU 13/2003 ada di penjelasan contohnya. Tapi karena dinamika politik di era SBY malah ditarik jadi Permen, ini kan jadi kacau," tuturnya.
Selain itu, Hariyadi juga menjelaskan kesalahan buruh dalam memahami upah minimum dalam UU Ciptaker. Menurutnya, upah minimum semula didesain sebagai jaring pengaman sosial. Target upah minimum juga bukan seluruh pekerja melainkan pekerja baru.
"Jadi upah minimum kami kembalikan pada filosofinya sebagai jaring pengaman sosial. Sebab pada prakteknya selama ini upah minimum bergeser, bukan jaring pengaman sosial tapi jadi upah rata-rata. Ini dikeluhkan sebagian pelaku usaha dan UMKM karena revenue dan beban tidak matching," tuturnya.
Selain itu, ia juga menyoroti persoalan pesangon yang berkurang dari 32 kali menjadi 25 kali dan memunculkan penolakan keras di kalangan buruh.
Padahal, dalam penyusunan naskah akademik di UU Ketenagakerjaan, pesangon hanya diusulkan sebanyak 19 kali. Namun karena Menteri Ketenagakerjaan Jacob Nua Wea saat itu berasal dari kalangan buruh, jumlah pesangon dirombak menjadi sebanyak 32 kali.
Padahal pada praktiknya, selama 17 tahun, ketentuan pesangon tersebut tak bisa dijalankan. Sebab total pengeluaran pengusaha untuk jaminan sosial buruh hingga membayar lembur sudah tinggi.
"Jadi perusahaan harus mencadangkan pesangon totalnya kira-kira 8 persen. Kalau ditambah dengan jaminan sosial itu kira-kira 10,24 -11,17 persen ditambah kenaikan rata-rata upah minimum per bulannya sekitar 10 persen," tutur Haryadi
"Ditambah lagi dengan pencadangan terkait lembur dan sebagainya kami menghitung kurang lebih kami harus mencadangkan 30 persen," tandasnya.