Mimpi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menggenggam target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada tahun pertama pemerintahan Kabinet Indonesia Maju masih jauh panggang dari api.
Bahkan, yang terjadi berbanding terbalik. Ekonomi justru anjlok menjadi minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Semua terjadi karena pandemi virus corona atau covid-19 secara mendadak di berbagai negara, termasuk Tanah Air. Kendati begitu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tak semua sektor ekonomi dan industri tumbuh minus karena corona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sektor itu antara lain, pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air. Mereka justru tumbuh positif di tengah tekanan pandemi covid-19.
Khusus sektor pertanian, laju pertumbuhannya 16,24 persen dari kuartal I ke kuartal II 2020. Sementara secara tahunan, sektor ini tumbuh 2,19 persen bila dibandingkan kuartal II 2019.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pertumbuhan positif ini ditopang oleh subsektor tanaman pangan yang meningkat 9,23 persen karena pergeseran masa panen raya. Sumbangan lain juga datang dari subsektor kehutanan dan penebangan kayu 2,23 persen karena ditopang produksi kayu hasil tanaman industri.
"Ada pergeseran panen raya yang tahun lalu terjadi pada Maret, tahun ini di April dan Mei masih panen raya," ucap Suhariyanto, dikutip Selasa (20/10).
Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus menganalogikan pertumbuhan sektor pertanian di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ibarat berkah dalam kesusahan. Sebab, kebutuhan pangan tetap tinggi, walaupun ekonomi dan kesehatan tengah tertekan corona.
"Masyarakat bisa mengerem pengeluaran lain, tapi tidak dengan pangan, meski mungkin ada pengurangan dari protein tinggi ke karbohidrat tinggi, tapi ketika pandemi tentu kebutuhan pangan tetap yang utama dipenuhi sehingga tetap ada pertumbuhan positif dari sektor ini," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/10).
Kendati begitu, menurutnya, pertumbuhan positif di sektor pertanian belum cukup menjanjikan. Pasalnya, ketika pandemi masih berlangsung, hal yang perlu dijaga pemerintah adalah ketahanan pangan nasional.
Apalagi, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) pernah mengingatkan negara-negara di dunia terkait risiko krisis pangan di tengah pandemi. Masalahnya, menurut Heri, persoalan ketahanan pangan ini masih belum cukup teruji di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
"Secara fundamental, ini belum terlihat membaik atau belum, belum teruji, karena biasanya terujinya ketika bulan puasa dan lebaran, bisa terlihat bagaimana stok. Tapi sekarang orang kan konsumsi secukupnya, jadi bisa saja masih cukup karena konsumsinya belum tinggi," katanya.
Terkait ketahanan pangan, Ahmad memberi referensi agar Indonesia bisa seperti Singapura. Negara tetangga itu bisa memiliki ketahanan pangan yang kuat sekalipun tak punya lahan luas untuk kegiatan pertanian.
Seluruh kebutuhan pangan masyarakatnya dipenuhi dengan cara impor. Tentu ini bukan masalah Indonesia perlu meningkatkan impor atau tidak.
Tapi Singapura setidaknya bisa mewujudkan ketahanan pangan dengan sumber daya alam yang terbatas.
"Singapura tidak punya sawah, semua impor, tapi pengelolaan di dalam negerinya sangat baik. Mereka bisa capai ketahanan pangan dari distribusi, ini yang jadi PR Indonesia, bukan hanya bagaimana meningkatkan produksi secara kuantitas, tapi memperbaiki distribusi dan tata niaga agar berkualitas," ungkapnya.
Ahmad mengatakan Jokowi-Ma'ruf sebenarnya sudah mulai melakukan langkah nyatanya untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Salah satunya dengan membangun lumbung pangan (food estate) seluas 164 hektare di Kalimantan Tengah.
Jokowi juga mengalokasikan dana Rp104,2 triliun untuk menjaga ketahanan pangan pada 2021. Sebagian dana itu akan digunakan untuk pengembangan food estate yang dikomandoi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
"Ini perlu didukung dengan road map yang jelas," imbuhnya.
Ahmad memberi satu catatan penting bagi pengembangan food estate ke depan; pengembangan jangan hanya mengejar volume produksi secara kuantitas, namun memenuhi kualitas pangan yang sesuai dengan industri agro di dalam negeri.
Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak bisa sebatas menikmati hasil pangan mentah. Mereka juga perlu menikmati makanan dengan kualitas baik.
Sayangnya, di tengah kebutuhan itu, hasil produksi di dalam negeri yang sering kali berlimpah tidak bisa memenuhi kriteria industri agro.
Akibatnya, kebutuhan industri agro harus bergantung pada impor. Keran impor pun mau tidak mau terus dibuka atas kepentingan perut.
Padahal, itu memberi dampak di indikator ekonomi lain.
"Misalnya, industri butuh jagung, di dalam negeri produksi ada, tapi beda kualitas, tidak bisa yang basah, jadi perlu didukung dengan pengelolaan pangan pascapanen, baik dengan jaminan ketersediaan infrastruktur, teknologi, pengetahuan, tata niaga," jelasnya.
Selain itu, ia melihat food estate keseriusan Jokowi pada sektor pertanian, perlu didukung aksi nyata lain. Misalnya, menghubungkan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ke sektor pertanian.
Sektor tersebut memang belum terdampak pandemi, namun tetap perlu dijamin kelangsungannya ke depan.
"Karena setelah pengangguran dan kemiskinan muncul, risiko kelaparan mengikuti di belakangnya, ini harus diantisipasi. Bisa dengan stimulus untuk sektor pangan," tuturnya.
Catatan lain dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf adalah upah buruh tani. Menurutnya, sejauh ini memang ada peningkatan.
Tapi, itu terjadi lebih karena ada penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) alias deflasi.
"Kenaikan upah buruh tani belum mencerminkan kesejahteraan mereka, kalau inflasi naik, hasilnya bisa tidak ada lebih pada daya beli petani. Ini tetap perlu diperhatikan," ucapnya.
Ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa juga menyoroti masalah ketahanan pangan nasional di tengah rencana pembangunan food estate. Sebab, Indonesia masih berada di peringkat 62 dari 113 negara di Indeks Ketahanan Pangan Global.
Menurutnya, ketahanan pangan bukan hanya masalah produksi yang melimpah.
"Ketahanan pangan tidak ada kaitannya dengan kapasitas produksi di dalam negeri yang melimpah. Indonesia perlu pengelolaan yang lebih baik," ungkap Dwi.
Ia juga mengingatkan Jokowi soal risko kegagalan dalam menjalankan proyek tersebut. Menurutnya, rencana food estate masih berisiko gagal seperti langkah-langkah yang pernah dilakukan Indonesia dari era pemerintahan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebab, food estate perlu basis kajian ilmiah yang mendalam dari infrastruktur, kesesuaian tanah, teknologi, hingga sosial ekonomi, bukan sekadar membuka lahan.
"Kalau satu saja tidak terpenuhi, bisa gagal," pungkasnya.
(uli/agt)