Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.660 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Kamis (22/10) sore. Mata uang garuda melemah 27 poin atau 0,19 persen dari Rp14.633 pada Rabu (21/10).
Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.697 per dolar AS atau menguat dari Rp14.658 per dolar AS pada kemarin sore.
Rupiah memimpin penguatan mata uang Asia dari dolar AS. Penguatan rupiah diikuti oleh yuan China 0,23 persen, ringgit Malaysia 0,2 persen, peso Filipina 0,15 persen, dan dolar Hong Kong 0,01 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mayoritas mata uang Asia lain berada di zona merah. Yuan China melemah 0,32 persen, baht Thailand minus 0,22 persen, dolar Singapura minus 0,16 persen.
Diikuti, won Korea Selatan minus 0,12 persen, yen Jepang minus 0,09 persen, ringgit Malaysia minus 0,03 persen, peso Filipina minus 0,01 persen.
Hanya rupee India yang menguat 0,06 persen dari dolar AS dan dolar Hong Kong stagnan.
Begitu pula dengan mata uang utama negara maju. Rubel Rusia melemah 0,54 persen, poundsterling Inggris minus 0,3 persen, dolar Australia minus 0,2 persen, franc Swiss inus 0,15 persen, dan euro Eropa minus 0,14 persen.
Lihat juga:Alasan Orang RI 'Minim' Punya Dana Pensiun |
Analis Asia Valbury Futures Lukman Leong mengatakan rupiah menjadi salah satu mata uang yang sempat menguat pada pembukaan perdagangan spot pagi tadi.
Namun, sentimen eksternal rupanya membalikkan kurs rupiah menjadi melemah pada akhir perdagangan.
Ia mengatakan sentimen tersebut utamanya datang dari proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara kawasan Asia Pasifik dari IMF. Proyeksinya minus 2,2 persen, terburuk sepanjang sejarah.
"Pasar langsung merespons proyeksi down grade dari IMF, ini turut melemahkan mata uang regional, termasuk rupiah," kata Lukman kepada CNNIndonesia.com.
Sentimen lain datang dari kelanjutan pembahasan stimulus ekonomi paket kedua. Kendati sudah ada sinyal stimulus bisa dipercepat, namun pelaku pasar rupanya kembali meragukan rencana itu.
"Risk on, risk off ini bergantian di pasar. Saat ini yang terjadi justru menguatkan dolar AS dan melemahkan mata uang lain, termasuk rupiah," ucapnya.
Sementara di dalam negeri, belum ada sentimen baru yang berhasil mempertahankan penguatan rupiah, termasuk demo penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker).