Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan sejumlah korporasi menikmati keuntungan dari bisnis penempatan buruh migran di sejumlah negara. Korporasi yang dimaksud adalah biro perjalanan, klinik, asuransi, tempat penukaran uang, serta lembaga keuangan lain baik bank dan nonbank.
"Investigasi Migrant Care menemukan ada beberapa holding company besar yang usahanya mencakup itu semua," ungkap Wahyu dalam diskusi virtual Potensi Keterlibatan Lembaga Keuangan dalam Aliran Dana Terkait Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pekerja Migran, Jumat (23/10).
Wahyu menjelaskan lembaga keuangan yang menikmati aliran uang dari bisnis penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bukan hanya perbankan atau non bank di pusat kota, tapi juga bank perkreditan rakyat (BPR) yang berada di daerah. Tak hanya itu, bahkan keuntungan bisnis penempatan buruh migran juga mengalir ke perusahaan biro penyelenggara ibadah haji dan umroh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyu menjelaskan ada banyak komponen yang harus dibayar oleh calon buruh migran di antaranya paspor, biaya pemeriksaan kesehatan, asuransi perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI), dan tiket pesawat.
Hal ini tertuang secara resmi dalam aturan Kementerian Ketenagakerjaan. Untuk ke Taiwan misalnya, aturannya tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 296 Tahun 2013 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan TKI Sektor Domestik Negara Tujuan Taiwan.
"Ini makanya kami Migrant Care mendorong agar zero cost. Jadi jasa-jasa perantara ini bisa dilakukan dengan skema pelayanan publik. Semua komponen dibebaskan menjadi bentuk pelayanan publik," tutur Wahyu.
Sementara, ia bilang beberapa biro penyelenggaran ibadah haji dan umroh kerap memanfaatkan bisnis penempatan TKI. Hal ini khususnya terjadi ketika pemerintah menghentikan penempatan buruh ke Timur Tengah.
"Berdasarkan pemantauan Migrant Care pada 2015-2016 masih ditemukan ribuan buruh ke Timur Tengah. Siasatnya adalah menggunakan modus keberangkatan haji dan umroh," jelas Wahyu.
Oleh karena itu, Wahyu menyatakan skema aliran uang dari bisnis penempatan buruh migran ini perlu ditelusuri. Ia khawatir ada praktik tindak pidana perdagangan orang sekaligus pencucian uang oleh korporasi.
Dalam kesempatan yang sama, purna migran Indonesia di Taiwan Ririn Kusuma menceritakan bahwa gajinya dipotong selama 21 bulan untuk satu kali kontrak. Ia bilang, satu kali kontrak berlaku tiga tahun.
"Potongan gaji berbeda-beda. Seharusnya hanya 12 bulan, tapi ada yang 16 bulan, ada yang 21 bulan, saya 21 bulan," kata Ririn.
Sayangnya, setelah gajinya dipotong pun, ia tak menerima gaji sepeser pun selama menjadi buruh migran. Ririn menyatakan hanya menandatangani bahwa ia telah mendapatkan gaji dari agen yang datang ke rumah majikannya, tapi tak pernah menerima uang tunai.
"Saya tidak dapat gaji. Saya hanya tanda tangan selama 21 bulan. Selanjutnya meski sudah ada pemotongan tapi saya tidak terima gaji," tutur Ririn.
Hal ini terjadi lantaran buku rekeningnya berdasarkan nama perusahaan jasa perantara penempatan buruh migran. Dengan demikian, semua gaji masuk ke rekening perusahaan itu.
"Waktu itu kami tidak bisa berangkat sendiri meski kami ada kemampuan finansial, semua proses harus lewat perusahaan (perantara)," kata Ririn.
Tak tinggal diam, Ririn akhirnya mengadu ke petugas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Taiwan. Beruntung, petugas itu langsung datang ke rumah majikan tempat Ririn bekerja untuk mengurus gaji, setelah itu Ririn bisa mendapatkan gajinya yang selama ini tak ia dapatkan.
Namun begitu, Ririn tidak betah kerja bersama majikannya saat itu. Pasalnya, ia tak diberikan hak libur selama bekerja.
Untuk itu, ia memutuskan kabur dari rumah majikan itu. Kemudian, Ririn mencari pekerjaan sendiri tanpa perantara.
"Tapi sebenarnya itu bukan solusi baik, karena risiko tinggi. ID kena blacklist, tidak bisa ke rumah sakit kalau ada apa-apa karena bisa ditangkap," katanya.
Namun, ia tetap memilih jalan itu karena Ririn butuh gaji yang lebih layak tanpa potongan sedikit pun. Sementara, Ririn adalah tulang punggung keluarga.
"Saya 10 tahun di Taiwan tanpa pulang. Saya kabur karena ada hak-hak tidak dipenuhi," tutup Ririn.