Amerika Serikat (AS) tengah menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diikuti oleh 2 calon, yakni Donald Trump sebagai petahana dan penantangnya, Joe Biden. Pertarungan cukup sengit lantaran masing-masing kandidat memiliki kebijakan dan karakter berbeda.
Namun, sejumlah pengusaha dan pengamat ekonomi menilai jika Trump kembali terpilih sebagai orang nomor wahid di AS, ancaman ketidakpastian ekonomi global masih membayangi. Ini serupa dengan kondisi beberapa tahun ke belakang di bawah kepemimpinan Trump.
"Kalau dari global, jika Trump menang sentimennya cenderung negatif. Karena bagi global, Trump adalah sumber ketidakpastian, kebijakannya tidak bisa ditebak dan yang bisa dipastikan akan terus terjadi gejolak dan perang dagang," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Pieter Abdullah kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentunya belum luput dari ingatan masyarakat perseteruan panas perang dagang AS-China sepanjang 2018-2019. Perang dagang itu dimulai pada 8 Maret 2018 ketika Trump melakukan proteksionisme dagang dengan mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan 10 persen pada aluminium dari sejumlah negara termasuk China.
Imbasnya, China merespons dengan rencana mengenakan bea masuk 15 persen-25 persen pada produk AS. Saling berbalas mengenakan bea masuk hingga pajak pun dilakukan oleh 2 negara adikuasa itu hingga awal 2020.
Pada Januari 2020, perang dagang AS-China mereda seiring dengan penandatangan kesepakatan fase I antara kedua negara. Pieter menilai jika Trump terpilih, maka kebijakannya pun tidak banyak berubah termasuk proteksionisme dagang AS.
"Tidak ada perubahan jadi tetap sama, sehingga arah kebijakan tetap sama," katanya.
Dampak proteksionisme dan perang dagang itu juga dirasakan Indonesia. Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kadin Indonesia Sanny Iskandar mengatakan sikap proteksionisme dagang Trump membuat AS menjadi kurang terbuka dengan berbagai negara, termasuk Indonesia.
"Akhirnya AS kurang terbuka dengan negara lain khususnya dengan China, sehingga ada perang dagang karena ekspor China ke AS akhirnya terhambat. Ini juga berpengaruh pada ekspor Indonesia ke China dalam bentuk bahan yang bisa diolah untuk diteruskan ke negara lain," katanya.
Tak heran, jika pengusaha khawatir sentimen negatif perdagangan global berlanjut, bisa berdampak ke Indonesia. Pasalnya, AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah China.
BPS mencatat, ekspor non migas Indonesia ke AS mencapai US$1,68 miliar pada September 2020. Secara kumulatif, periode Januari-September total ekspor non migas ke AS mencapai US$13,5 miliar, setara 12,14 persen dari total ekspor. Sedangkan ekspor Indonesia ke China sebesar US$20,43 miliar setara 18,37 persen.
Senada, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengaku merasakan kekhawatiran serupa.
"Trump tipe presiden yang bergerak berdasarkan sentimennya sendiri dan cenderung punitif (menghukum) pada negara yang tidak disukai sehingga menciptakan uncertainty (ketidakpastian) bagi pelaku usaha negara tersebut," ucapnya.
Ia mengatakan pada masa kepemimpinan Trump, Indonesia untuk pertama kalinya mengalami peninjauan sampai 2 kali terkait akses pasar dan iklim perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk mempertahankan keringanan tarif atau Generalized System of Preference (GSP).
"Trump juga membuat Indonesia diklasifikasikan sebagai negara maju, dalam hal penerapan mekanisme anti subsidi di AS, sehingga ke depannya Indonesia lebih sulit memenangkan sengketa anti-subsidi bilateral dengan AS," tuturnya.
Selain itu, ia juga menyoroti fakta bawah perang dagang AS-China justru tidak menciptakan peluang ekonomi bagi Indonesia. Oleh karenanya, jika Trump kembali memimpin maka bayang-bayang perang dagang masih menjadi momok bagi kinerja ekspor Indonesia.
"Sepanjang 2018-2019 Indonesia faktanya tidak memperoleh keuntungan yang berarti dari peralihan perdagangan maupun investasi AS-China. Malah, di 2019 baik investasi maupun ekspor Indonesia-AS cenderung turun lebih rendah dari 2017," katanya.
Belum lagi, perang dagang juga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah yang saat itu hampir mendekati Rp17 ribu per dolar AS.
Namun, Shinta melihat secuil peluang jika Trump kembali menjadi presiden yakni potensi kerja sama bilateral Indonesia-AS. Pasalnya, Trump memiliki gaya pemerintahan yang sangat berbeda dengan sebelumnya yang jauh lebih formal dan mengikuti aturan-aturan dagang multilateral.
"Di satu sisi, karena Trump lebih suka dengan deal bilateral, ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk melakukan lobi dan menciptakan deal perdagangan atau investasi bilateral yang hampir tidak mungkin bisa kita ciptakan bila presidennya bukan Trump," katanya.