Indonesia resmi memasuki jurang resesi, setelah pertumbuhan ekonomi kontraksi minus 3,49 persen pada kuartal III 2020. Artinya, ekonomi minus selama dua kuartal berturut-turut dari sebelumnya negatif 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Menyikapi resesi ekonomi, masyarakat harus jeli dalam berinvestasi. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan dari kondisi perekonomian yang lesu. Namun, bukan berarti masyarakat tidak bisa berinvestasi.
Berikut sejumlah strategi berinvestasi kala resesi ekonomi seperti dihimpun CNNIndonesia.com:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asas dasar sebelum berinvestasi adalah mengetahui profil risiko untuk menentukan jenis instrumen investasi yang akan diambil.
"Kita harus tahu profil risiko diri sendiri, ada yang agresif, moderat, dan konservatif," ujar Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Asad kepada CNNIndonesia.com.
Ia menuturkan tipe investor agresif adalah orang yang mau membeli produk investasi dengan risiko tinggi. Mereka cenderung tidak bermasalah dengan penurunan tajam imbal hasil (return) atau nilai investasi, asal memiliki potensi untuk mendapatkan return investasi tinggi.
Lihat juga:Empat Kesalahan Keuangan saat Resesi Ekonomi |
Selanjutnya, tipe moderat yakni orang yang mau mengambil sedikit risiko, tapi tidak terlalu besar. Biasanya, tipe ini ingin mendapatkan return yang lebih tinggi dibandingkan hanya bunga deposito dan masih bisa menerima penurunan nilai investasi, tapi tidak besar.
Tipe konservatif adalah orang-orang yang tidak mau mengambil risiko dalam berinvestasi. Mereka mau menerima return kecil, asalkan nilai asetnya tidak turun.
Selanjutnya, ia menyarankan agar setiap investor memiliki aset likuid, baik investor tipe agresif, moderat, maupun konservatif. Pasalnya, pada kondisi resesi ekonomi utamanya saat ini disebabkan oleh pandemi, maka perekonomian cenderung dipenuhi ketidakpastian.
Ia menjelaskan aset likuid adalah aset yang mudah dicairkan sewaktu-waktu tanpa tingkat kerugian (cut loss).
"Tetap, dengan kondisi saat ini semua disarankan menjaga ketersediaan aset likuid," katanya.
Ia mencontohkan sejumlah instrumen aset likuid meliputi tabungan, deposito, reksa dana pasar uang, dan emas.
Senada, Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho menyinggung persiapan dana darurat yang mudah dicairkan sebelum berinvestasi. Besaran idealnya, untuk orang yang belum menikah sebesar 3 kali pendapatan. Sementara, bagi yang sudah berkeluarga sebesar 6 kali penghasilan.
"Memang, dari sekian orang yang saya temui mengaku sulit dan butuh waktu lama untuk persiapan mengumpulkan dana darurat itu," katanya.
Namun, ia menegaskan dana darurat ini akan sangat berguna pada saat resesi ekonomi. Menyiasatinya, masyarakat bisa memilah sebagian pendapatannya untuk dana darurat dan sebagian lainnya untuk investasi.
Andy menyarankan prioritas pilihan instrumen investasi saat resesi ekonomi adalah instrumen risiko rendah dan mudah dicairkan, yakni deposito. Namun, investor harus menyadari jika return deposito lebih rendah dibandingkan instrumen investasi lainnya.
"Kenapa gampang dicairkan? Karena bisa jadi kita tiba-tiba tidak tertutup kemungkinan kena PHK, dirumahkan, gaji dipotong karena resesi ekonomi. Misalnya pun bukan kita, bisa jadi saudara, orang tua sehingga butuh bantuan kita," paparnya.
Namun, jika seorang investor tipe moderat, maka bisa mencoba instrumen yang risikonya menengah tapi menawarkan imbal hasil lebih tinggi dari deposito, yakni surat utang (obligasi) ritel, surat utang syariah (sukuk) ritel, emas, reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, dan emas.
Sebaliknya, bagi investor dengan profil agresif, momentum resesi ekonomi ini bisa menjadi peluang untuk menambah portofolio risiko tinggi dengan imbal hasil lebih besar pula, seperti saham dan reksa dana saham. Alasannya, banyak saham yang memiliki kinerja bagus dan kapitalisasi yang harganya turun.
"Keadaan krisis ini kita bisa tetap investasi ke pasar saham atau reksa dana saham, karena justru justru sekarang harganya sedang diskon," katanya.
Namun, ia memberikan catatan bagi para investor agresif ini. Pertama, investasi pada saham dan reksa dana saham tersebut dilakukan untuk jangka panjang 2-3 tahun.
"Ke depan harga sahamnya sudah rebound (menguat) lagi. Jadi, dalam jangka panjang yang investasi di saham sekarang bisa menuai hasilnya tadi, tapi hanya boleh dilakukan dengan siap mental," katanya.
Kedua, ia menilai sebaiknya investasi pada saham dan reksa dana saham dilakukan secara bertahap setiap bulannya sembari memantau kondisi perekonomian. Investor tidak dianjurkan membeli portofolio saham dan reksa dana saham dalam jumlah jumbo sekaligus, kecuali sudah berpengalaman.
Bagi investor yang sudah lebih dulu terjun pada dunia investasi, ia menganjurkan melakukan rebalancing atau menata ulang portofolio investasi. Terlebih dulu, investor bisa mengevaluasi performa investasinya di tengah resesi ekonomi ini.
Rebalancing ini bertujuan mengurangi risiko kerugian pada aset-aset yang kinerjanya turun akibat pandemi covid-19 dan resesi ekonomi.
"Misalnya, dia punya 75 persen investasi di pasar saham, dan 25 persen dalam bentuk tabungan serta logam mulai. Boleh saja, yang di pasar saham ini, untuk menghindari drop (kerugian) bisa rebalancing tadinya 75 persen jadi dikurangi 50 persen atau 30 persen, sisanya ke obligasi atau emas," jelasnya.
Terakhir, Andy menyarankan investasi dilakukan jika masyarakat sudah mampu mencukupi kebutuhan primer sehari-hari. Apabila ada uang lebih dan masyarakat sudah memiliki dana darurat, maka idealnya investasi bisa dilakukan.
"Tergantung kondisi orang, kalau misalnya finansial dia untuk kebutuhan sehari-hari belum bisa tercukupi semuanya sebaiknya jangan dulu. Investasi kalau semua kebutuhan tercukupi dan masih ada uang lebih sehingga tidak ada issue (masalah untuk kebutuhan primer)," ujarnya.
Jika kebutuhan primer sudah tercukupi dan masih ada dana lebih, maka dana tersebut bisa dialokasikan untuk dana darurat dan investasi. Misalnya, 10 persen dari pendapatan untuk dana darurat dan 10 persen untuk investasi.