Presiden Joko Widodo (Jokowi) memproyeksi laju ekonomi kuartal III 2020 minus sekitar 3 persen. Ini berarti Indonesia terancam masuk ke fase resesi ekonomi.
Suatu negara disebut resesi jika pertumbuhan ekonominya minus dua kuartal berturut-turut. Indonesia sendiri mencatatkan pertumbuhan negatif 5,32 persen pada kuartal II 2020 lalu.
Jelang resesi seperti ini, masih banyak masyarakat yang salah dalam mengelola keuangan. Akibatnya, kantong pun jebol di masa krisis seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, kesalahan pengelolaan keuangan apa saja yang biasanya dilakukan sebagian orang?
Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho mengatakan biaya jajan masyarakat semenjak bekerja dari rumah (work from home/WFH) meningkat. Uang yang seharusnya bisa ditabung justru dipakai untuk membeli cemilan, seperti kopi atau kue.
Selain itu, generasi milenial juga masih banyak yang lebih memilih nongkrong atau berkumpul dengan teman-temannya di restoran. Dengan demikian, uangnya habis hanya untuk nongkrong.
"Mayoritas penghasilan justru habis untuk hal-hal tersebut. Mereka biasanya mengorbankan dana yang seharusnya untuk ditabung atau dana darurat, itu terabaikan," ujar Andy kepada CNNIndonesia.com, Senin (2/11).
Selain itu, masyarakat saat ini lebih cepat tergoda untuk berbelanja via online. Sebab, banyak karyawan yang bekerja dari rumah, sehingga waktu luangnya lebih banyak ketimbang bekerja di kantor.
"Lebih boros di rumah daripada ke mal sekalian, kalau ke mal mungkin bisa diakalin hanya bawa satu kartu debit yang berisi uang berapa, kalau di rumah, semuanya ada di rumah, jadi sulit menahan," terang Andi.
Ia bilang masyarakat harus punya dana darurat minimal tiga kali dari penghasilan bagi yang belum menikah. Sementara, bagi masyarakat yang sudah berkeluarga, dana darurat yang harus dimiliki idealnya enam kali dari penghasilan.
"Dana darurat digunakan untuk hal mendesak. Maka itu penting memprioritaskan yang penting-penting, jangan mengonsumsi hal-hal yang tidak perlu," ucap Andi.
Selain dana darurat, masyarakat juga suka lupa pentingnya asuransi. Ketika punya uang bukannya untuk beli asuransi, melainkan membeli barang-barang yang tidak penting atau dipakai untuk nongkrong.
"Karena dengan kondisi seperti ini, krisis dan pandemi covid-19, tidak ada yang tahu kalau sakit butuh biaya tinggi," kata Andi.
Setidaknya, Andi bilang masyarakat bisa punya asuransi kesehatan di BPJS Kesehatan. Sebab, biaya rumah sakit kini mahal, terlebih kebanyakan rumah sakit kini mewajibkan pasiennya untuk swab test jika hendak diopname.
"Misalnya sakit demam berdarah saja, harus swab test. Itu kan tambah biaya lagi, kalau tidak punya asuransi bagaimana, minimal BPJS Kesehatan untuk jaga-jaga," terang Andi.
Lihat juga:Jokowi Pastikan Indonesia Resesi Ekonomi |
Sementara, Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan masyarakat jangan sampai menambah utang di masa krisis seperti sekarang. Sebaiknya, masyarakat justru membayar seluruh utang secepat-cepatnya.
"Utang harus dikurangi, kalau bisa jangan tambah utang. Itu tambah beban," tutur Eko.
Sebaiknya, masyarakat menahan untuk berutang jika tak ada urusan yang sangat genting. Pasalnya, tak ada yang bisa memastikan apakah utang itu bisa dibayar sampai lunas ke depannya.
"Harusnya pengeluaran berkurang karena bekerja dari rumah, jadi kalau bisa lunasi utang, jangan tambah utang lagi. Lebih baik dikurangi daripada ke depannya susah bayar," terang Eko.
Selanjutnya, hal yang terkadang dilupakan oleh generasi milenial adalah berinvestasi. Padahal, ini bisa menolong saat negara masuk ke jurang resesi.
Setidaknya, jika masyarakat punya investasi, masyarakat berarti masih punya aset. Jadi, meski terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), masyarakat punya cadangan aset untuk bertahan hidup.
Namun, tak ada yang terlambat. Eko bilang jika masih ada dana cadangan dan diperkirakan tak dipakai dalam jangka panjang, masyarakat bisa menempatkannya di instrumen investasi berisiko tinggi, seperti saham.
"Kalau dana cadangan sudah ideal, sudah berlebih, dana sebagian bisa diinvestasikan di investasi berisiko tinggi, misalnya saham. Itu jangka panjang," kata Eko.
Namun, jika dana berlebih atau dana menganggur yang dimiliki kira-kira akan dipakai dalam beberapa bulan ke depan, sebaiknya uang itu ditempatkan di instrumen berisiko rendah. Beberapa instrumen berisiko rendah itu, misalnya deposito dan obligasi.
"Reksa dana pasar uang itu juga berisiko rendah. Dana investasi kalau bisa jangan dicairkan kalau tidak penting-penting sekali," tutup Eko.
(aud/sfr)