Marks & Spencer mencatat kerugian sebesar 87,6 juta poundsterling Inggris atau setara Rp1,67 triliun (kurs Rp18.700 per poundsterling) sampai 26 September 2020. Kerugian itu mencetak sejarah sebagai yang pertama sejak 94 tahun terakhir.
Kerugian itu berbanding terbalik dengan torehan keuntungan mencapai 158,8 juta poundsterling Inggris atau Rp2,96 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Perusahaan ritel asal Inggris itu menderita kerugian akibat tekanan ekonomi dari dampak pandemi virus corona atau covid-19.
Pandemi mengganggu mobilitas pembeli, operasional perusahaan, dan menurunkan permintaan produk, khususnya berupa pakaian dan peralatan rumah tangga. Tercatat, penjualan perusahaan turun 15,8 persen menjadi 4,09 miliar poundsterling Inggris atau Rp76,48 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, penjualan di toko cabang yang berada di pusat kota anjlok hingga 53 persen. Sebelumnya, perusahaan juga sempat mengumumkan bakal memangkas tujuh ribu pekerja mulai Agustus 2020.
Kepala Eksekutif Marks & Spencer Steve Rowe mengatakan kondisi sulit ini memberi dampak bagi perusahaan untuk mempercepat perubahan struktural melalui efisiensi. Hal ini dilakukan melalui penerapan bisnis digital yang lebih luas hingga memangkas jumlah pekerja.
"Ini posisi yang lebih kuat, lebih ramping dan lebih fokus," kata manajemen dalam pernyataan resmi.
Saat ini, perusahaan sudah berhasil memangkas beban biaya mencapai 92 juta poundsterling Inggris. Rencananya, efisiensi akan dilanjutkan sampai 120 juta poundsterling Inggris melalui penutupan toko sampai tujuh tahun ke depan.
"Tujuan saya tetap tidak berubah, yaitu untuk memberikan transformasi jangka panjang untuk M&S, membangun merek yang lebih digital di dunia yang tidak akan pernah sama lagi," jelasnya.
Analis Ritel dan Kepala Eksekutif Savvy Catherine Shuttleworth menilai kerugian Marks & Spencer terjadi karena perusahaan tidak mengubah skema bisnisnya yang mengeluarkan biaya operasional sangat besar. Bahkan, ketika perusahaan mulai meningkatkan penjualan online di tengah penutupan toko, hasilnya tidak terlalu besar bagi keuangan perusahaan.
"Penjualan online lebih kuat dari sebelumnya, tapi itu sama sekali tidak menutup jumlah kerugian penjualan yang telah mereka tanggung tahun ini. Mereka harus berubah untuk bertahan hidup. Sementara Marks mengatakannya mereka belum tentu melakukannya, meski telah mengubah cara mereka bekerja," kata Shuttleworth seperti dikutip dari BBC, Kamis (5/11).
Sementara Analis Begbies Traynor Julie Palmer memandang Marks & Spencer setidaknya sudah berupaya mengubah skema bisnis untuk menopang kinerja perusahaan melalui kerja sama pengiriman online dengan Ocado Retail. Kerja sama ini memungkinkan Marks & Spencer yang tak punya jasa pengiriman bisa mengantarkan produk makanannya ke pembeli di tengah pandemi.
Menurut catatannya, hasil penjualan dari kerja sama itu mencapai 47,9 persen. Keuntungan perusahaan dari lini bisnis ini pun meningkat.
"Bisnis makanannya bisa mendapatkan keuntungan dari lockdown yang akan datang (di Inggris) karena konsumen mencari makanan berkualitas tinggi sebagai alternatif untuk keluar," tuturnya.
Bahkan menurut Palmer, kinerja positif pesan antar makanan ini membuat Marks & Spencer menjadi salah satu pemain besar di pasar ini.