Indonesia resmi menandatangani perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada Minggu (15/11). Penandatanganan dilakukan di Istana Bogor oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di sela-sela KTT ASEAN ke-37.
RCEP merupakan kemitraan ekonomi komprehensif regional Asia yang digagas Indonesia saat memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011. Kerja sama ini bertujuan untuk mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitradagangnya.
Perundingannya dinyatakan selesai pada 11 November lalu dengan 15 negara yang menyepakatinya terdiri dari 10 negara ASEAN dan 5 mitra ASEAN yaitu Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga menyatakan RCEP sebagai perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika ditinjau dari cakupan dunia untuk total Produk Domestik Bruto (PDB) (30,2 persen); investasi asing langsung (FDI) (29,8 persen); penduduk (29,6 persen); dan perdagangan (27,4 persen) yang sedikit di bawah EU-27 yang tercatat 29,8 persen.
Jokowi menilai perjanjian tersebut memiliki sisi historis karena sejak perundingan dimulai pada 2012 Indonesia ditunjuk sebagai ketua komite perundingan perdagangan atau Trade to Negotiation Committee (TNC) yang diwakili oleh Iman Pambagyo.
Perundingan ini mulanya dibahas 10 negara ASEAN dan 6 negara mitra ASEAN. Namun belakangan, India memutuskan belum akan bergabung dalam penandatanganan RCEP yang berlangsung kemarin.
Menurut Jokowi perundingan yang berlangsung selama kurang-lebih delapan tahun itu bisa terselesaikan berkat komitmen yang kuat terhadap multilateralisme atau kerja sama antarnegara dari negara-negara di kawasan.
"Perjanjian RCEP juga diharapkan menunjukkan dukungan kawasan untuk sistem perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif, dan berbasis aturan," ucapnya melalui pernyataan yang dirilis Sekretariat Presiden.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto optimistis penandatanganan RCEP akan membawa keuntungan bagi Indonesia. Salah satu manfaat langsungnya adalah meningkatkan partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global dan meningkatkan PDB Indonesia pada 2021-2032.
"PDB 2021-2023 akan naik 0,05 persen Kalau tidak ada RCEP akan turun 0,07 persen. Ini juga akan mendorong kapasitas dan kemampuan ekonomi UMKM," tuturnya dalam konferensi pers virtual yang digelar Kemendag belum lama ini.
Agus juga menyampaikan bahwa negara-negara yang tergabung dalam RCEP memiliki pangsa pasar 29,6 persen penduduk dunia dan 29 persen Produk Domestik Bruto dunia. Dengan potensi itu, menurutnya, di masa depan bisnis akan terkonsentrasi di Asia Timur.
"Tak hanya itu, Foreign Direct Investment (FDI) di RCEP juga 29,3 persen dari total FDI dunia," imbuhnya.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan seluruh proyeksi tersebut didasarkan pada kajian dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
Sementara hasil kajian internal di Kementerian Perdagangan meramalkan Indonesia bisa memperoleh keuntungan kesejahteraan (welfare gain) sekitar US$1,52 miliar atau Rp21,58 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS).
"Welfare gain ini maksudnya adalah surplus yang didapat konsumen dan produsen dari sebuah transaksi," tuturnya.
Iman bilang dari sisi konsumen, estimasi walfare gain didapat bila harga yang mampu dibayar konsumen lebih besar dari harga faktual di pasar. Artinya konsumen bisa menabung dananya (savings).
Sementara dari sisi produsen, walfare gain didapat bila harga yang sebetulnya mampu ditawarkan produsen itu ternyata lebih kecil dari harga yang berlaku di pasar.
Memang, kata Iman, potensi buruk di mana RCEP bisa mendorong peningkatan defisit neraca perdagangan sekitar US$491,46 juta. Tapi kajian yang sama juga menunjukkan bahwa potensi defisit ini bisa di-offset dengan memaksimalkan supply chain dari pemenuhan kebutuhan bahan baku yang kompetitif.
"Sehingga bahan baku diimpor lalu diekspor maupun manfaatkan impor bahan baku setengah jadi untuk diolah di negara RCEP yang lain," jelasnya.
Kendati begitu, Iman menggarisbawahi bahwa semua potensi ini bisa diraih asal Indonesia bisa meningkatkan daya saingnya. Untuk itu perlu sinkronisasi kebijakan di pusat dan daerah dengan kebutuhan dunia usaha ke depan.