ExxonMobil akan menurunkan harga aset (writedown) properti gas alamnya sebesar US$17 miliar-US$20 miliar atau setara Rp240,3 triliun-Rp282,8 triliun (kurs Rp14.140 per dolar AS).
Dilansir CNN.com, Jumat (3/12), kebijakan writedown ini merupakan yang terbesar dalam sejarah ExxonMobil. Sebagian writedown dilakukan di Appalachia, Rockies, Texas, Oklahoma, Louisiana, dan Arkansas.
Aset itu merupakan hasil dari akuisisi ExxonMobil terhadap raksasa gas alam XTO Energy senilai US$41 miliar pada akhir 2009 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikabarkan, ExxonMobil tidak hanya berencana memangkas nilai portofolio gas alamnya. Perusahaan juga akan menghapus sepenuhnya beberapa properti gas yang sebelumnya direncanakan untuk dikembangkan.
ExxonMobil bukanlah satu-satunya perusahaan minyak yang terpaksa untuk mengurangi nilai properti bahan bakar fosilnya. Dalam satu tahun terakhir, ada Chevron dan Shell yang menurunkan nilai asetnya.
Lebih lanjut, manajemen menyatakan bakal fokus pada pengembangan sumber daya minyaknya yang besar di Guyana. Perusahaan juga akan mempercepat produksi di Permian Basin of West Texas dan beberapa eksplorasi di Brasil.
Selain itu, ExxonMobil juga mundur dari rencana menaikkan portofolio investasinya. Perusahaan mengaku akan fokus menggunakan belanja modalnya sebesar US$19 miliar atau kurang pada 2021 dan sebesar US$20 miliar-US$25 miliar per tahun hingga 2025.
Angka itu di bawah dari proyeksi perusahaan yang sebelumnya berencana menggunakan belanja modal sebesar US$30 miliar-US$35 miliar per tahun hingga 2025.
Manajemen sedang berusaha keras untuk melakukan efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi jumlah tenaga kerja globalnya sebanyak 14 ribu orang atau 15 persen dari total karyawan pada akhir tahun depan.
Pandemi covid-19 dan jatuhnya harga minyak mentah dunia telah membuat keuangan ExxonMobil berdarah-darah.
Perusahaan membukukan kerugian secara kuartalan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade dan dikeluarkan dari Dow Jones Industrial Average setelah 92 tahun dalam indeks tersebut.
Sementara, Wall Street berharap pengetatan anggaran yang dilakukan ExxonMobil bisa membuat perusahaan tetap membagikan dividen kepada investor. Sebab, hal itu akan menarik bagi investor.
Namun, sejumlah analis skeptis dengan keuangan ExxonMobil. Pasalnya, tahun ini menjadi yang pertama bagi ExxonMobil meningkatkan dividen.
Analis Raymond James Molchanov mengingatkan pasar bahwa ExxonMobil tidak dapat mendanai dividennya pada 2021 nanti tanpa tambahan pinjaman atau penjualan aset.
Saat ini, pasar modal terbuka lebar bagi korporasi untuk mencari pendanaan. ExxonMobil harus dapat mendapatkan pendanaan untuk membiayai dividennya.
"Ini adalah pertanyaan tentang berapa banyak utang yang ingin mereka ambil," ucap Analis RBC Capital Market Biraj Borkhataria.
Menurut dia, jika ExxonMobil menghindari pengurangan dividen dan memotong pengeluarannya secara signifikan akan menimbulkan pertanyaan pasar tentang masa depan jangka panjang perusahaan.
Perusahaan minyak perlu terus mengalirkan uang untuk kegiatan pengeboran. Jika tidak, maka produksi akan kering dan mengganggu arus kas perusahaan.
"Perusahaan berada dalam posisi genting karena kesepakatan yang telah mereka lakukan dan fakta bahwa mereka kurang membayar selama bertahun-tahun. Mereka harus melaksanakan proyek yang ada demi kelangsungan bisnis jangka panjang," pungkas Borkhataria.