Mining Industry Indonesia (MIND ID), holding BUMN pertambangan menargetkan pengembalian hasil penarikan obligasi atau surat utang senilai US$4 miliar yang digunakan untuk membeli saham PT Freeport Indonesia pada 2018 lalu bisa lebih cepat.
Targetnya, seluruh dana bisa kembali pada awal 2025 atau maju setahun dibandingkan rencana semula yang maksimal 2026.
Direktur Utama MIND ID sekaligus PT Indonesia Asahan Aluminium alias Inalum Orias Petrus Moedak bilang target pengembalian dana itu dibuat dengan memperhitungkan harga acuan tembaga yang kini sudah berada di level US$3 per ton atau naik dari sebelumnya yang hanya sebesar US$2,75 per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia memperkirakan kenaikan harga acuan tersebut akan menopang pendapatan perusahaan sehingga bisa digunakan untuk mempercepat pembayaran utang.
"Kami perkirakan awal 2025 bisa dipercepat buyback US$4 miliar itu," ujar Orias saat rapat bersama Komisi VII DPR, Senin (7/12).
Sebagai informasi, perusahaan menarik obligasi US$4 miliar. Dari jumlah itu US$3,85 miliar digunakan untuk pembayaran saham Freeport.
Sementara itu sebesar US$150 juta sisanya digunakan untuk refinancing.
Obligasi yang ditarik itu terdiri dari empat masa jatuh tempo dengan tingkat kupon rata-rata 5,99 persen. Pertama, US$1 miliar dengan kupon 5,23 persen dan tenor sampai 2021.
Kedua, US$1,25 miliar dengan kupon 5,71 persen dan tenor hingga 2023. Ketiga, US$1 miliar dengan kupon 6,53 persen dan tenor sampai 2028.
Keempat, US$750 juta dengan kupon 6,75 persen dan tenor hingga 2048. Obligasi ditarik dari gabungan peminjam, yakni BNP Paribas dari Prancis, Citigroup dari AS, dan MUFG dari Jepang.
Ketiganya menjadi koordinator underwriter dalam penerbitan obligasi. Sementara CIMB Niaga dan Maybank dari Malaysia, SMBC Nikko dari Jepang, dann Standard Chartered Bank dari Inggris sebagai mitra underwriter.
Lebih lanjut, Orias mengungkapkan dari hasil pembelian saham tersebut, Freeport berharap nantinya bisa mengantongi laba sekitar US$800 juta pada tahun depan. Dari proyeksi itu, perusahaan tambang di Papua itu bisa menghasilkan dividen US$200 juta kepada negara.
Laba Freeport diramal bisa mulai tembus kisaran US$1 miliar sampai US$1,5 miliar mulai 2022. Dengan begitu, dividen yang bisa disetorkan mungkin mencapai US$500 juta.
"Tapi 2020 melebihi prediksi, angkanya kurang lebih US$700 juta, tapi kesepakatannya belum ada dividen (tahun ini)," tuturnya.
Direktur Utama Freeport Indonesia Clayton Allen Wenas memperkirakan laba tahun ini bisa mencapai US$700 juta karena kenaikan harga tembaga dan emas. Sementara pada 2019, pendapatan perusahaan hanya sekitar US$366 juta.
"Tahun depan ada produksi lebih banyak dari yang kita rencanakan. Kalau harga emas naik jadi US$1.850 per troy ons, pendapatan bisa lebih tinggi," kata Tony, sapaan akrabnya, pada kesempatan yang sama.