ANALISIS

Pengakuan 'Dosa' JK dan Dilema Negara Tekan Konsumsi Rokok

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 10 Des 2020 07:08 WIB
Pemerintah menghadapi dilema untuk menekan konsumsi rokok secara masif. Pasalnya, selain berdampak negatif pada kesehatan, rokok punya efek positif ke ekonomi.
Pemerintah menghadapi dilema untuk menekan konsumsi rokok secara masif. Pasalnya, selain berdampak negatif pada kesehatan, rokok punya efek positif ke ekonomi. Ilustrasi. (morgueFile/DodgertonSkillhause).
Jakarta, CNN Indonesia --

Jusuf Kalla membuat pengakuan 'dosa' selama menjadi wakil presiden dalam dua periode. Rasa bersalah itu timbul lantaran ia tak mampu menekan konsumsi rokok di Indonesia.

JK, sapaan akrabnya, menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2004-2009 lalu. Lalu, ia kembali menjadi Wakil Presiden pada 2014-2019 di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Tentu ikut bersalah, dua kali jadi wapres. Walaupun saya dalam kondisi dua kali kabinet itu berusaha mengupayakan agar rokok dikurangi (dengan) pajak dinaikkan, ternyata tidak terlalu berhasil," ucap JK dalam acara International Virtual Conference 2020, dikutip Kamis (10/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah sebenarnya melakukan berbagai upaya untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia. Saat di bawah pemerintahan SBY-JK, aturan yang mewajibkan produsen rokok mencantumkan gambar peringatan bahaya merokok di muka bungkus rokok berhasil diterapkan.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan yang terbit pada 2012 itu baru efektif pada Juni 2014.

Kemudian, pemerintah juga berusaha menekan konsumsi rokok dengan menaikkan tarif cukai setiap tahun. Dengan cukai, harga rokok otomatis naik sehingga konsumsi rokok diharapkan turun.

Pada 2015, tarif cukai rokok naik rata-rata sebesar 8,72 persen. Lalu, tarif cukai naik rata-rata 11 persen pada 2016 lalu.

Selanjutnya, kenaikan tarif cukai rokok pada 2017 melambat menjadi 10,54 persen. Begitu pula pada 2018, di mana kenaikan tarif cukai hanya 10 persen.

Sementara, pemerintah tak menaikkan tarif cukai pada 2019. Keputusan itu berbarengan dengan momen pesta demokrasi berupa pemilihan presiden (pilpres).

Setelah pilpres usai, pemerintah baru mengumumkan bahwa tarif cukai 2020 naik signifikan hingga 23 persen. Hal ini membuat rata-rata harga jual eceran rokok diperkirakan meningkat hingga 35 persen dari harga jual sebelumnya.

Kenaikan tarif cukai berdampak positif terhadap penerimaan negara. Jumlah penerimaan dari cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) terus meningkat setiap tahun.

Sebagai gambaran, penerimaan CHT sepanjang 2019 naik 7,8 persen menjadi 164,87 triliun. Kemudian, realisasi penerimaan CHT per Oktober 2020 sebesar Rp134,92 triliun atau naik 10,23 persen dibandingkan dengan Oktober 2019 lalu.

Sayang, kenaikan cukai belum mampu menekan jumlah konsumsi rokok di dalam negeri. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan total prevalensi konsumsi tembakau penduduk usia di atas 15 tahun sebesar 34,2 persen dari total penduduk di Indonesia pada 2007.

Lalu, prevalensi konsumsi tembakau penduduk usia di atas 15 tahun pada 2013 naik menjadi 36,3 persen dari total penduduk di Indonesia. Angkanya sempat turun pada 2016 menjadi 32,8 dari total penduduk Indonesia, tetapi kembali naik pada 2018 menjadi 33,8 dari total penduduk Indonesia.

Kementerian Keuangan juga mencatat jumlah perokok meningkat di kalangan perempuan pada 2018 lalu. Jumlahnya menanjak dari 2,5 persen menjadi 4,8 persen.

Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla bersiap mengikuti peringatan HUT PMI ke-75 secara virtual di Markas PMI, Jakarta, Kamis (17/9/2020). Peringatan HUT PMI ke-75 mengusung tema Solidaritas Untuk Kemanusiaan. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nzJusuf Kalla merasa bersalah karena tidak mampu menekan konsumsi rokok selama dua kali menjabat sebagai wakil presiden. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz).

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah memang kesulitan menurunkan jumlah perokok di dalam negeri. Pasalnya, masyarakat yang sudah kecanduan tetap akan membeli dan mengonsumsi rokok meski harganya naik setiap tahun.

"Sulit melarang karena sudah kebiasaan. Nah, banyak penelitian bilang lebih baik dikendalikan. Caranya dengan cukai karena ada biaya yang dibebankan ke konsumen," ujar Tauhid.

Di saat yang sama, pemerintah juga menghadapi dilema. Industri rokok memang sudah diwajibkan membayar tarif cukai kepada negara namun pemerintah tak bisa seenaknya mengenakan tarif cukai tinggi demi menekan konsumsi rokok.

Tauhid mengingatkan, jika pemerintah menaikkan tarif cukai terlalu tinggi maka akan berdampak pada banyak hal. Penjualan industri berpotensi turun karena harga naik.

Jika penjualan turun, laba pun merosot. Lama-kelamaan, kinerja industri turun dan bisa membuat manajemen melakukan efisiensi dengan mengurangi beban perusahaan.

Alhasil, perusahaan rokok berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tingkat pengangguran pun meningkat dan lapangan pekerjaan menipis.

"Saya kira ada puluhan ribu tenaga kerja di industri rokok. Sekarang juga rokok menghidupi warung-warung kecil. Jadi turunannya rokok ini banyak yang terdampak," ujar Tauhid.

Selain itu, pemasukan petani tembakau juga akan berdampak jika permintaan industri turun. Kalau pendapatan petani turun, konsumsi di pedesaan akan terpengaruh dan dampaknya negatif untuk ekonomi secara nasional.

"Di Temanggung, Nusa Tenggara, ini daerah produksi tembakau. Kalau dialihkan ke komoditas lain tidak berhasil. Jika benar-benar dilarang, nanti justru tembakau impor yang datang padahal di Indonesia banyak tembakau. Jadi ada dampak ke daerah perkebunan juga," jelas Tauhid.

Lebih dari itu, pemerintah juga tak bisa memungkiri bahwa penerimaan CHT berdampak positif untuk kantong negara. Apalagi, penerimaan dari pajak sedang seret di masa pandemi covid-19 sehingga penerimaan CHT bisa sedikit menutup kebutuhan pemerintah.

Menurut Tauhid, kalau pun pemerintah mengerek tarif cukai tinggi setiap tahunnya, ada potensi peningkatan peredaran rokok ilegal. Hal ini khususnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil.

"Jadi mau bagaimana, konsumsi rokok sulit berkurang, yang ada justru rokok ilegal. Produsen lokal akan muncul banyak atau rokok impor justru masuk. Ini sulit kalau cukai terlalu tinggi," kata Tauhid.

Mudarat untuk Ekonomi

Di sisi lain, Ekonom Universitas Gadjah Mada Akhmad Akbar Susamto mengatakan rokok memiliki banyak dampak positif untuk ekonomi domestik. Rokok bisa menghidupi petani tembakau di pedesaan, membuka lapangan pekerjaan baru, menambah penerimaan negara, menambah tingkat konsumsi masyarakat, dan mendorong perputaran uang di masyarakat.

Namun, bukan berarti rokok tak memiliki dampak negatif untuk ekonomi secara keseluruhan. Akhmad menyatakan dampak negatif rokok khususnya akan terasa bagi orang miskin.

Masyarakat kelas menengah bawah yang sudah kecanduan akan melakukan berbagai cara agar tetap bisa mengonsumsi rokok. Salah satunya dengan mengurangi alokasi dana untuk kebutuhan lain yang lebih penting, seperti membeli beras dan lauk untuk makan keluarga.

"Jadi ini perilaku orang miskin, gizi anak diturunkan, biaya sekolah diturunkan. Jadi sebenarnya banyak merugikan juga daripada manfaatnya," terang Akhmad.

Jika begini maka kualitas sumber daya manusia (SDM) akan semakin turun karena gizi masyarakat kelas menengah ke bawah tak terpenuhi. Ujung-ujungnya, proses pertumbuhan anak dan anggota keluarga.

Menurut Akhmad, pemerintah sebenarnya bisa menekan angka konsumsi rokok jika ingin serius. Salah satunya dengan memberikan alternatif kepada seluruh tenaga kerja yang berkaitan dengan industri rokok, baik petani hingga karyawan, untuk beralih ke sektor lain.

"Tembakau dialihkan ke produksi lain. Ini pemerintah harus cari jalan. Kalau tidak, ya seperti ini terus," ujar Akhmad.

Selama ini, kata dia, pemerintah tak pernah mencari solusi jangka panjang. Pemerintah hanya menaikkan tarif cukai setiap tahun untuk menekan konsumsi rokok untuk jangka pendek.

[Gambas:Video CNN]

Sementara, pemerintah sudah paham betul bahwa kenaikan tarif cukai tak cukup ampuh mengurangi jumlah perokok secara signifikan. Oleh karena itu, Akhmad menyarankan sebaiknya pemerintah cepat bertindak jika ingin menurunkan jumlah konsumsi rokok dalam jumlah banyak.

"Kalau mau serius seharusnya ada peta jalan. Jadi bisa memindahkan semua sumber daya termasuk orang-orang yang bergantung dengan rokok menjadi penghasil yang lain. Selama ini tidak ada," tutup Akhmad.

(sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER