Ekonom Senior Faisal Basri menilai pemerintah menomorduakan penanganan kesehatan. Hal ini tercermin dari porsi anggaran kesehatan yang menurun tahun depan.
"Sadari lah bahwa kita kikir terhadap anggaran kesehatan. Anggaran kesehatan hanya 3 persen dari PDB, cuma lebih tinggi dari Laos," ujar Faisal dalam Diskusi Pakar 'Health Outlook 2021', Jumat (18/12).
Berdasarkan catatannya, porsi anggaran Myanmar 4,7 persen dari PDB, Filipina 4,4 persen, Thailand 3,7 persen dari India 3,5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Faisal, turunnya anggaran kesehatan tahun depan dari Rp212,5 triliun menjadi Rp169 triliun menunjukkan tidak ada komitmen pemerintah dalam menangani masalah kesehatan. Padahal, pandemi virus corona belum berakhir.
"Jadi kesehatan memang nomor dua, tidak ada komitmen," katanya pada
Ia juga menyoroti kenaikan belanja di bidang infrastruktur yang naik dari Rp281,1 triliun menjadi Rp414 triliun. Angka ini dua kali lipat dari anggaran kesehatan.
Rendahnya anggaran kesehatan disebutnya membebani kantong masyarakat. Faisal mengatakan, untuk Indonesia pengeluaran untuk kesehatan mencapai 35 persen atau sekitar sepertiga dari total pengeluaran.
Ia kemudian membandingkan dengan negara sekawasan seperti Thailand yang masyarakatnya hanya perlu merogoh kocek untuk kesehatan setara 11 persen dari pengeluaran.
"Afrika Selatan 7,8 persen jadi dia bisa untuk pendapatan lain bisa untuk lain-lain. Jadi Indonesia sudah miskin, rakyatnya harus mengeluarkan lebih banyak," kata dia.
Di kesempatan sama, selain anggaran, ia menyebut penanganan pandemi corona tidak optimal disebabkan oleh masalah internal, yaitu jajaran Kementerian Kesehatan.
Dari kacamatanya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tidak sigap dalam menangani pandemi. Bahkan, sejak beberapa bulan lalu, Faisal vokal menyuarakan agar Terawan di-reshuffle dari kabinet Indonesia Maju.
"Masalahnya di Menkes (Terawan), tapi ga dipecat-pecat sama Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Masalahnya itu, tapi sudahlah itu masalah internal," katanya.