Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo berjanji untuk mengejar produksi kedelai lokal dalam waktu 200 hari atau dua kali musim tanam. Ini merupakan upaya untuk mengatasi lonjakan harga tempe dan tahu beberapa waktu terakhir.
Tercatat, harga kedelai di pasar internasional naik 9 persen dari kisaran US$11,92 menjadi US$12,95 per busel. Alhasil, harga kedelai impor yang dibeli Indonesia sebagai bahan baku tahu tempe naik dari kisaran Rp9.000 menjadi Rp9.300 per kilogram (kg).
Sejauh ini, Indonesia memang masih amat bergantung dengan kedelai impor. Hal ini khususnya produsen atau pengrajin tahu dan tempe yang membutuhkan kedelai impor sebagai bahan baku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, biaya produksi tahu dan tempe ikut naik ketika harga kedelai impor melonjak. Sebagian pengrajin tahu dan tempe sempat menaikkan harga tahu dan tempe sebesar 20 persen-30 persen, tapi sebagian lagi mencoba mempertahankan harga agar dagangannya laku.
Namun, lama-kelamaan mereka yang mempertahankan harga rugi lantaran harga kedelai impor semakin mahal. Untuk itu, pengrajin tahu dan tempe sempat melakukan aksi mogok produksi pada 1-3 Januari 2021 lalu sebagai bentuk protes atas harga kedelai impor yang tinggi.
Ini menjadi polemik besar di Tanah Air. Maklum, mayoritas masyarakat Indonesia kerap menjadikan tahu dan tempe sebagai "hidangan wajib" di meja makan.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menilai upaya pemerintah untuk menggenjot produksi kedelai dalam 200 hari di dalam negeri tak akan berhasil. Impor kedelai tetap akan tinggi seperti sebelum-sebelumnya.
"Tidak akan bisa, pasti gagal. Upaya swasembada kan sudah dari dulu, kenyataannya impor kedelai naik terus," tutur Dwi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/1).
Berdasarkan catatannya, total impor kedelai pada 2014 sebanyak 4,2 juta ton. Lalu, jumlahnya naik mencapai 7,2 juta ton sepanjang 2019.
"Jadi kalau mau ekstensifikasi (perluasan lahan) ya jawabannya pasti gagal, karena contoh banyak, sudah pernah, sama saja," ucap Dwi.
Rata-rata, kata Dwi, total kebutuhan kedelai di dalam negeri mencapai 8 juta ton per tahun. Mayoritas atau lebih dari 7 juta ton biasanya dipenuhi lewat impor.
"Sehingga sekitar 90 persen kedelai di Indonesia dipenuhi dari impor," imbuh Dwi.
Sementara, Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Sumedang Nandang menyatakan kedelai umumnya cuma menjadi komoditas sampingan untuk ditanam. Mayoritas petani enggan menanam kedelai karena tak mendatangkan banyak keuntungan.
Tak ayal, jumlah produksi kedelai lokal hanya sedikit. Menurut Nandang, petani lebih memilih menanam komoditas lain seperti padi atau ubi karena pasarnya lebih menjanjikan.
"Petani cari yang lebih untung, kalau lebih untung menanam padi kenapa menanam kedelai," imbuh Nandang.
Dengan demikian, jika pemerintah memperluas areal pertanian untuk kedelai, belum tentu bisa menambah produksi kedelai lokal secara signifikan.
Kalau tambahan lahan tersebut menjadi milik pemerintah dan hanya boleh ditanami kedelai maka produksi bisa meningkat. Namun, apabila lahan tersebut menjadi milik petani maka sulit menambah produksi kedelai.
"Kalau lahan milik pemerintah mungkin (bisa menambah produksi kedelai lokal). Kalau milik masyarakat, mereka akan memikirkan mana yang lebih menguntungkan," jelas dia.