Di sisi lain, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmaja berpendapat upaya pemerintah untuk menaikkan produksi kedelai lokal dalam 200 hari bisa saja dilakukan. Namun, pekerjaan rumah pemerintah bukan cuma itu.
Pemerintah, kata Entang, juga harus memastikan apakah kedelai lokal diminati atau tidak oleh pasar. Hal ini khususnya oleh pengrajin tahu dan tempe.
"Jadi bukan hanya produksi, tapi setelah produksi laku atau tidak? Sudah ada bukti belum bahwa kedelai itu diminati oleh pengrajin tahu dan tempe," kata Entang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, persoalan utama bukan pada kedelai impor. Tapi kenaikan harga tempe dan tahu akibat peningkatan harga kedelai impor.
Andai saja tak berpengaruh terhadap tahu dan tempe yang menjadi makanan favorit masyarakat Indonesia, Entang menyebut kenaikan harga kedelai impor tak akan menjadi persoalan besar seperti sekarang. Jadi, pemerintah juga harus bisa memastikan apakah pengrajin tahu dan tempe mau membeli kedelai lokal atau tidak.
"Pastikan apakah pengrajin tempe dan tahu mau atau tidak, mungkin kedelai lokal bisa laku tapi dibeli industri lain. Kalau pengrajin tahu dan tempe tidak beli, belinya tetap kedelai impor, sama saja mahal, persoalan tidak selesai," papar Entang.
Menurut Entang, pengrajin tempe dan tahu selama ini lebih suka dengan kedelai impor. Pasalnya, kualitas kedelai dari luar negeri jauh lebih bagus ketimbang kedelai lokal.
"Kedelai impor besar-besar. Kedelai lokal kalau mau besar disuntik-suntik dulu, itu tidak efisien karena akan mahal," terang Entang.
Lagi pula, tak banyak petani yang mau menanam kedelai karena untungnya sedikit. Entang menyatakan 1 hektare cuma bisa menghasilkan 1-2 ton kedelai.
Jika harga kedelai lokal Rp8.000 per kilogram (kg), maka petani bisa meraup pendapatan Rp16 juta ketika panen. Namun, biaya produksinya bisa mencapai 60 persen dari total pendapatan.
"Biaya produksi beli benih, kalau bukan lahan sendiri berarti harus sewa, kalau butuh tenaga kerja harus siapkan upah, pupuk, dan pembersihan lahan harus ada ongkos. Kalau menurut saya biaya produksi bisa 60 persen dari Rp16 juta, jadi sekitar Rp9 juta," jelas Entang.
Jika petani menaikkan harga kedelai lokal demi meraup untung lebih banyak, maka pengrajin tahu dan tempe semakin tak mau membeli kedelai lokal. Mereka akan lebih memilih kedelai impor yang besar-besar ketimbang kedelai lokal yang bentuknya lebih kecil.
"Kalau menaikkan harga kedelai lokal (agar keuntungan lebih banyak), mahal sama saja seperti yang impor. Jadi ujung-ujungnya akan tetap impor," ujar Entang.
Menurut Entang, Kementerian Pertanian jangan terburu-buru mendongkrak produksi kedelai lokal. Selain karena pengrajin tahu dan tempe lebih suka kedelai impor, pemerintah juga harus mempertimbangkan faktor cuaca.
"Kalau La Nina, ada serangan hama penyakit, bahaya. La Nina menyerang seluruh komoditas. Takutnya produksi diserang hama, jadi harus dicermati lagi," tutur Entang.
Maka dari itu, ia menyarankan Kementerian Pertanian melakukan evaluasi secara menyeluruh mengenai produksi kedelai. Pemerintah harus melibatkan peneliti, tokoh-tokoh perguruan tinggi, dan petani kedelai.