Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan rencana pemerintah untuk menghapus kewajiban tes corona untuk mereka yang sudah menerima vaksin covid-19, baik tes rapid antigen maupun polymerase chain reaction (PCR).
Nantinya, warga yang sudah divaksinasi akan diberikan sertifikat kesehatan digital dan sertifikat tersebut dapat ditunjukkan sebagai dokumen syarat perjalanan.
"Sehingga kalau terbang atau pesan tiket di Traveloka tidak perlu menunjukkan test PCR atau antigen," kata Budi pada Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Kamis (14/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Dini (55) mengaku skeptis dan kurang setuju dengan rencana tersebut. Pasalnya, ia menilai vaksinasi tak menjamin orang tersebut bebas virus covid-19. Mereka masih bisa terkena dan menyebarkan virus corona.
Selain itu, ia menilai antibodi penerima vaksin tidak terbentuk dalam beberapa hari. Bercermin dari pengalaman imunisasi Hepatitis, ibu rumah tangga ini menyebut antibodi bisa saja baru terbentuk setelah beberapa bulan setelah vaksinasi.
"Saya kurang setuju karena merasa kurang aman. Antibodi kan ga terbentuk langsung, vaksinnya saja perlu dua kali. Hepatitis saja kata dokter antibodi terbentuk bisa butuh 3 bulan dan disuntik 3 kali," katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (15/1).
Dia berharap pemerintah tidak terburu-buru membuat peraturan baru mengingat vaksinasi saja baru dimulai 2 hari lalu, tepatnya Rabu (13/1) lalu.
Artinya, data yang menjadi dasar dibuatnya peraturan yakni efektivitas vaksin dalam menekan angka positif belum terbukti dan teruji.
"Sementara belum ada kepastian jangan terlalu cepat mengeluarkan peraturan. Walau vaksinasi berjalan, protokol juga tetap. Jangan pada ngumpul-ngumpul, gak boleh lengah," imbuhnya.
Sementara, Vendy (32) mengaku was-was jika peraturan sampai diterbitkan. Pasalnya, efikasi vaksin dari Sinovac dinilai relatif rendah dari vaksin lainnya, yakni hanya 65,3 persen. Ini membuatnya ragu vaksin racikan China ini akan mampu menekan penyebaran covid-19.
Belum lagi kalau selama program berjalan bakal terjadi penyesuaian efikasi seperti yang terjadi di Brazil. Tingkat efikasi di Brazil turun dari 78 persen menjadi 50,4 persen saja.
"Kalau memang seandainya jadi imun dari covid-19 100 persen dan bagus, aturan ini baik jadi ga perlu tes lagi karena memang terbukti efektif. Tapi ini kan masih belum jelas," ujarnya.
Dia menyarankan pemerintah memberi waktu untuk mengevaluasi manfaat vaksin setidaknya dalam 2-3 bulan mendatang. Jika belum ada tinjauan mendalam terkait efektivitas vaksin, ia mengaku pesimis program memberikan lebih banyak maslahan dari mudarat.
Wirausahawan yang berdomisili di Jakarta Barat ini juga menyarankan pemerintah untuk lebih getol melakukan sosialisasi soal manfaat dari vaksinasi untuk meyakinkan masyarakat agar mau divaksinasi.
Sejauh ini, ia mengaku belum banyak mendapat informasi dari pemerintah, yang banyak beredar justru informasi yang tak jelas sumbernya yang bernada menakut-nakuti masyarakat.
"Sarannya sosialisasikan soal vaksin yang kita gunakan jadi orang yakin efektivitas vaksin ini cukup untuk menangani corona," kata dia.
Sementara, Charlotte (24) mengaku setuju dengan arahan Budi karena ia menilai tujuan dari vaksinasi bukan agar tidak perlu lagi dilakukan test covid-19, melainkan untuk membangun imunitas tubuh penerima vaksin.
Dia percaya vaksinasi akan mampu membangun imunitas covid-19 dari penerima vaksin tersebut sehingga tes rapid antigen atau PCR tidak perlu lagi dilakukan oleh penerima vaksin. Dengan catatan, protokol kesehatan selama perjalanan masih terus dijalankan.
"Aku pribadi setelah vaksin tujuannya bukan jalan-jalan tapi bangun imunitas diri jadi bagiku tiket pesawat murah atau apapun murah tidak mempengaruhiku dalam skala yang besar artinya mau mahal dan murah sama aja, pasti tetap hati-hati walau sudah divaksin," terangnya.