Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo membeberkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sudah ada sejak era pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini merespons polemik PPN pulsa yang bakal berlaku pada awal Februari mendatang.
Dia mengatakan PPN pada dasarnya telah ada pada 1983 silam dan mulai berlaku pada 1 Juli 1984.
Lihat juga:Rizal Ramli Kritik Pajak Pulsa Sri Mulyani |
Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (JDIH BPK RI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lho ternyata #PPN bukan barang baru ya? Jelas bukan. Bahkan usianya sudah 36 tahun dan mengalami berbagai perubahan. Tahun 1983 menandai era baru perpajakan dengan berubahnya official assessment ke self assessment (swalapor). Ciri demokratis pajak menguat dan ini sangat penting," cuit Prastowo, Sabtu (30/1).
Prastowo menyebut Paket Reformasi Pajak inilah yang kemudian melahirkan berbagai UU Perpajakan lainnya, seperti UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan UU Nomor 7 Tahun Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Kemudian UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), serta UU Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).
Ia sengaja mengulas soal PPN karena melihat relevansi dengan diskusi terkait PPN Pulsa yang kini hangat diperbincangkan.
Prastowo mengatakan pulsa seperti barang konsumsi atau jasa lainnya yang menurut UU dikenai pajak. Caranya dengan dilakukan pemungutan oleh penjual barang/jasa terkait hingga ke konsumen.
Untuk barang atau jasa di sektor telekomunikasi, ia menyebut pajak dipungut karena jasa telekomunikasi tidak masuk negative list atau daftar yang dikecualikan dalam pemungutan pajak.
Mekanisme pemajakan dilakukan dengan mata rantai teratas yakni mulai dari pabrikan ke distributor lalu diteruskan ke pengecer dan terakhir sampai pada konsumen.
"Itulah kenapa PPN disebut pajak objektif, karena yang dikenai objeknya yaitu konsumsi. Disebut juga pajak tidak langsung karena sasarannya konsumen barang/jasa tapi pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai: pabrikan>distributor>pengecer>konsumen akhir," terangnya.
Pulsa, menurut Prastowo, merupakan produk yang dikembangkan dari jasa telekomunikasi. Sehingga, PPN pulsa termasuk produk yang dikenai pajak sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1988.
Dulunya, pemungutan pajak dilakukan oleh Perusahaan Umum telekomunikasi (Perumtel) yang merupakan provider satu-satunya dan kini pemungutan bergeser ke provider masing-masing.
Ia melanjutkan, permasalahan timbul kala distributor dan pengecer menengah dan kecil yang menjadi bagian mata rantai kesulitan menjalankan kewajiban karena belum mampu secara administrasi. Inilah yang menjadi dispute atau perselisihan di lapangan dengan kantor pajak.
Karena itu, Prastowo menyebut diterbitkan PMK-6/2021 yang menjadi kepastian status pemajakan pulsa.
"Jadi mustinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 yang mulai berlaku sejak 1 Februari 2021. Dalam PMK itu dijelaskan akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) penjual pulsa dan kartu perdana alias konter pulsa.
"Atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua yang merupakan pemungut PPh Pasal 22, dipungut PPh Pasal 22," bunyi Pasal 18 Ayat 1 aturan itu, bunyi beleid seperti dikutip.
Pemungut PPh melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya. Pungutan PPh juga dilakukan sebesar 0,5 persen dari harga jual, atas penjualan kepada pelanggan telekomunikasi secara langsung.
"Dalam hal wajib pajak (WP) yang dipungut PPh Pasal 22 tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemungutan lebih tinggi 100 persen dari tarif tersebut," bunyi aturan itu.
Namun, pemungutan PPh Pasal 22 tersebut bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi WP yang dipungut. PPh Pasal 22 itu menjadi terutang pada saat diterimanya pembayaran, termasuk penerimaan deposit, oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua.
Pemungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan atas pembayaran oleh penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi yang jumlahnya paling banyak Rp2 juta tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2 juta.
Pemungutan juga tidak dilakukan atas WP bank dan telah memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dan telah terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
(wel/pmg)