Serikat buruh menolak rancangan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagaimana tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang JKP. Mereka meragukan keberlangsungan program turunan Undang-undang (UU) Nomor 11 tentang Cipta Kerja itu.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan buruh tetap satu suara menolak UU Cipta Kerja, termasuk aturan turunannya.
"Saya belum baca dan tidak ingin baca, karena perlu dicatat bahwa KSPI dan semua serikat buruh menolak UU Cipta Kerja. Dengan demikian, kami tidak mungkin terlibat apalagi menanggapi RPP-nya. Kami akan menunggu bagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial review," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia menjelaskan sejumlah poin yang menjadi kekhawatiran buruh dalam RPP tentang JKP tersebut.
Pertama, skema iuran sebesar 0,46 persen dari upah pekerja/buruh melalui rekomposisi iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), dinilai melanggar UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam aturan tersebut, kata dia, ada larangan pemberlakuan subsidi silang. Diketahui, dalam RPP tentang JKP dijelaskan bahwa pemerintah pusat akan menanggung iuran sebesar 0,22 persen dari upah sebulan. Kemudian, 0,24 persen sisanya bersumber dari sumber pendanaan JKP atau rekomposisi dari iuran program JKK dan JKM.
"Rekomposisi itu sama dengan subsidi silang, subsidi silang itu tidak boleh antar program," ujarnya.
Seharusnya, kata dia, pemerintah menambah iuran baru khusus untuk program JKP. Ia khawatir rekomposisi tersebut akan mengurangi manfaat dari JKK dan JKM sendiri, walaupun pemerintah mengklaim tidak ada perubahan manfaat.
"Jadi, yang dirugikan tetap buruh, dengan rekomposisi iuran JKK dan JKM pasti manfaatnya akan berkurang logikanya begitu. Hanya untuk pemanis JKP, iuran JKK dan JKM dikurangi, tapi buruh dirugikan dari manfaat berkurang, walaupun pemerintah bilang tidak akan berkurang, itu tidak mungkin," katanya.
Kedua, ia khawatir program JKP justru memancing pengusaha memberlakukan kontrak berulang, serta dalam waktu singkat. Terlebih, UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan waktu pekerja kontrak.
Sebagai catatan, RPP JKP mengatur bahwa manfaat JKP bagi pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau pekerja kontrak diberikan apabila PHK dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu.
"Makanya kontrak saja 2 bulan supaya dia tidak memutus di tengah jalan, kan iuran JKP walaupun dari JKK dan JKM itu tetap uang pengusaha. Justru bagi buruh ini ancaman nanti pengusaha akan menggunakan kontrak berulang dengan kontrak pendek, masa depan buruh bagaimana," ucapnya.
Ketiga, ia meragukan kemampuan BPJS Ketenagakerjaan menjalankan program JKP secara berkelanjutan (sustainable). Utamanya, jika terjadi ledakan PHK seperti di masa pandemi covid-19 maupun krisis ekonomi.
"Dengan iuran JKP yang diatur dalam RPP itu, mampu tidak BPJS Ketenagakerjaan bayar ledakannya (PHK)? Kan tidak mungkin, tidak masuk akal karena tidak tambah iuran baru, hanya rekomposisi subsidi JKK dan JKM yang nilainya kecil sekali," katanya.
Terakhir, ia juga meragukan kemampuan pemerintah menyokong 0,22 persen dari iuran tersebut. Dalam skema terburuk, apabila keuangan negara tidak mampu menanggung subsidi iuran tersebut bukan tidak mungkin pemerintah akan menaikkan iuran JKP yang dibebankan kepada buruh.