Anggota Komisi XI DPR RI fraksi PKS Anis Byarwati mengkritik kenaikan utang luar negeri pemerintah di tengah pandemi covid-19. Pasalnya peningkatan utang tersebut tak diiringi dengan kualitas belanja yang makin membaik.
Hal tersebut tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10 triliun hingga Rp30 triliun setiap tahunnya. "Yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang," ucapnya kepada CNNIndonesia.com Kamis (17/2).
Anis tak memungkiri pelebaran defisit sepanjang 2020 yang menyebabkan lonjakan utang diperlukan untuk membiayai besarnya anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sayangnya, tutur Anis, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir 2020 belum maksimal yakni hanya sebesar 83 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tetapi gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional," imbuhnya.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$417,5 miliar atau setara Rp5.873,61 triliun (kurs Rp13.933 per dolar AS) pada kuartal IV 2020.
Dari total ULN tersebut, yang tercatat sebagai utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$206,4 miliar atau sekitar Rp2.903 triliun (kurs Rp1.4045 per dolar AS) atau tumbuh 3,3 persen dari posisi kuartal IV 2019.
Berdasarkan catatan BI, peningkatan ULN pemerintah dan bank sentral terjadi karena penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar keuangan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Anis, kenaikan utang tersebut juga membuat stabilitas rentan terhadap gejolak eksternal. Investor asing tak segan-segan melepas kepemilikannya atas SBN domestik jika prospek ekonomi dalam negeri makin suram. Bila arus modal keluar dari SBN terjadi, maka permintaan dolar AS naik dan ujung-ujungnya rupiah akan tertekan.
Selain itu, kenaikan utang juga akan membuat kemampuan fisikal pemerintah di tahun-tahun mendatang lebih loyo.
Pasalnya, pengeluaran untuk membayar beban bunga utang semakin besar. Hal ini tentu mengurangi kemampuan pemerintah menggelontorkan stimulus lebih besar untuk menggerakkan perekonomian.
Ujung-ujungnya, kata Anis, pemerintah kembali menerbitkan utang untuk dapat membiayai belanja stimulus sekaligus pembayaran bunga utang.
Lihat juga:Jerit Korban TikTok Cash, Jutaan Rupiah Raib |
Hal ini merupakan sinyal buruk karena pemerintah berisiko kesulitan mengendalikan laju utang di masa mendatang. "Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia," tuturnya.
Meski demikian, anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Muhammad Misbakhun mengatakan penambahan utang adalah pilihan yang mau tak mau harus diambil pemerintah.
Terlebih, di tengah kebutuhan pembiayaan yang besar, bukan hanya Indonesia yang mencari utang melainkan juga negara lain. Hal ini membuat ongkos yang dikeluarkan untuk berutang menjadi tidak murah.
"Pilihan yang paling sulit tapi harus tetap diambil karena opsi pilihan lainnya untuk mengatasi defisit APBN juga tidak ada yang lebih baik dari pilihan pada utang. Tinggal bagaimana mencari utang yang biayanya rendah dan syaratnya tidak mengikat," tuturnya.