Perjalanan hidup hingga menjadi kaya tidak bisa disangka-sangka dari mana datangnya. Hal itu terjadi pada Frank Lowy.
Di usia 13 tahun, hidupnya sudah tidak menentu. Keceriaan hidup masa anak-anak lelaki kelahiran Filakovo, Cekoslowakia, pada 22 Oktober 1930 itu sudah terenggut di usia yang masih sangat belia.
Semua terjadi karena Perang Dunia II. Perang harus membuat Lowy putus sekolah demi melarikan diri ke Budapest, Hungaria, demi menghindari penangkapan tentara Nazi dan polisi rahasia Hungaria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pelarian, ia hidup tanpa teman dan kesepian. Bukan hanya itu, ia juga harus kehilangan ayahnya, Hugo Lowly yang dipukuli tentara Nazi karena tak mau menanggalkan syal Yahudi di lehernya.
Kisah pilu tak berhenti di situ. Pada 1946, Lowy tertangkap dan diangkut dengan kapal bernama Yagur ke kamp penjara di Siprus.
Setelah beberapa bulan dalam masa penahanan, dia dibawa ke Palestina dan di tahan di kamp tahanan atlet. Kemudian, dia pindah ke Sde Ya'akov dan bergabung dengan Haganah dan Brigade Golani selama Perang Arab-Israel di Galilea dan Gaza pada 1948 lalu.
Pada 1952, ia berhasil melepaskan diri dari masalah. Ia pergi meninggalkan Qiryat Tivon, Israel, dan bergabung dengan keluarganya untuk meninggalkan Eropa ke Australia.
Di Benua Kanguru itulah pintu kesuksesan bermula. Ia memulai hidup baru dengan membuka bisnis pengiriman barang secara kecil-kecilan.
Setahun berselang, ia bertemu dengan sesama imigran Hungaria bernama John Saunders. Bersama temannya itu, Lowy merintis perusahaan pusat perbelanjaan bernama Westfield Development Corporation.
Ia memulai dari Blacktown di pinggir barat Kota Sidney. Perlahan namun pasti, bisnis yang ia rintis bersama Saunders itu berkembang.
Karena perkembangan itu, pada 1960, perusahaannya kemudian melantai di Bursa Efek Australia.
Hingga 30 tahun kemudian, Lowy dan Saunders berhasil mengembangkan dan melebarkan pusat perbelanjaan yang mereka rintis ke seluruh wilayah Australia dan bahkan Amerika Serikat.
Namun di tengah jalan, Lowy ditinggalkan Saunders. Pada 1987, Saunders memutuskan menjual seluruh saham dan meninggalkan perusahaan yang telah dirintisnya bersama Lowy itu.
Keputusan Saunders tak membuat Lowy terpuruk. Di bawah kendalinya, perusahaan justru semakin berkembang pesat.
Pada 1990-an, Lowy berhasil membawa perusahaan mengembangkan usaha ke Selandia Baru. Pada 2000-an, ia melanjutkan pengembangannya bisnisnya ke Inggris.
Di tangannya, Westfield Group terus berkembang menjadi salah satu kelompok perusahaan ritel terbesar di dunia. Tercatat, ada sekitar 124 pusat perbelanjaan berbendera Westfield yang sudah tersebar di Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Perusahaan itu berkembang hingga memiliki aset kelolaan sebanyak US$29,3 miliar atau Rp418,34 triliun di AS, Inggris dan Eropa.
Perkembangan usaha tersebut membuat pundi kekayaan Lowy terus bertambah. Pada 2019 kemarin, Forbes mencatat total kekayaan bersihnya mencapai US$6,5 miliar.
Kekayaan itu setara dengan Rp92,86 triliun (Kurs Rp14.287 per dolar AS). Pundi-pundi itu membuatnya menjadi orang terkaya nomor 4 di Australia.
Amal
Kekayaan tersebut tak lantas membuat Lowy lupa kepada orang. Bahkan, ia dikenal memiliki reputasi terkenal sebagai orang kaya yang suka membantu.
Bahkan karena kedermawanan itu, dia pernah dianugerahi gelar filantropis terkemuka Australia oleh badan puncak, Philanthropy Australia karena telah memberikan sumbangan senilai 10 juta dolar Australia pada 2002 lalu.
Bersama dengan keluarga Packer, pada 2008 lalu, Lowy juga menyumbangkan dana yang dirahasiakan jumlahnya kepada Victor Chang Cardiac Research Institute.
Pada 2010, Lowy dan keluarganya menyumbangkan 10 juta dolar Australia untuk memfasilitasi pembangunan Pusat Penelitian Kanker Lowy UNSW. Itu merupakan sebuah pusat kolaborasi dari Institut Kanker Anak Australia dan Fakultas Kedokteran di Universitas New South Wales.
(bir)