Amerika Hukum 6 Perusahaan Myanmar di Tengah Kudeta
Amerika Serikat memberi sanksi kepada enam perusahaan milik dua anak Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw) Jenderal Min Aung Hlaing. Itu dilakukan di tengah kudeta yang terjadi di negara tersebut.
Mereka berharap sanksi dapat menekan militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap warga sipil yang menentang kudeta.
Melansir Reuters, sanksi salah satunya diberikan ke A&M Mahar, perusahaan milik anak Min yang bernama Aung Pyae Sone. Perusahaan itu menjalankan bisnis penghubung bagi perusahaan farmasi asing untuk mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Myanmar sebelum menjual produk mereka di negara tersebut.
Tak hanya itu, Negeri Paman Sam juga memperketat pengawasan ekspor ke Myanmar. Bahkan AS memasukkan Myanmar ke dalam kelompok negara musuh, seperti Rusia dan China.
Biasanya, AS akan mengontrol ketat perdagangan ke negara-negara tersebut terutama terkait komoditas sensitif seperti teknologi dan pertahanan.
Kementerian Perdagangan AS mengatakan saksi baru ini akan mempengaruhi ekspor AS ke sejumlah entitas di Myanmar seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri Myanmar, dan dua perusahaan pelat merah yakni Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holding Limited.
Kedua BUMN Myanmar itu merupakan salah satu perusahaan pelat merah yang diandalkan junta militer untuk menggenjot perekonomian negara. Keduanya memiliki anak perusahaan yang masing-masing bergelut di bidang produksi bir, rokok, teknologi telekomunikasi, pertambangan hingga perumahan.
Penerapan pembatasan ekspor ini dilakukan setelah laporan kelompok advokasi Justice for Myanmar mengatakan bahwa Kemendagri Myanmar telah membeli teknologi perusahaan AS yang digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap media sosial di negara itu.
Myanmar terperosok ke dalam krisis politik setelah angkatan bersenjata melakukan kudeta dengan menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint pada 1 Februari lalu.
Mereka beralasan pengambilalihan kekuasaan dipicu sengketa hasil pemilihan umum pada November 2020. Dalam pemilu itu, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang mendukung Suu Kyi menang telak dari partai lain.
Militer menuduh ada kecurangan dalam pemilu 2020, yang dibantah oleh komisi pemilihan umum setempat. Sejak itu gelombang demonstrasi terus terjadi di Myanmar.
Sampai saat ini dilaporkan lebih dari 60 orang meninggal dalam unjuk rasa di Myanmar. Sedangkan 1.800 demonstran dan belasan jurnalis ditahan aparat.
(uli/agt)