Ekonom Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menilai RI kehilangan momentum emas penanganan covid-19. Akibatnya, ia memprediksi Indonesia akan terpuruk, dari sisi penanganan kesehatan akibat covid-19 maupun perekonomian.
Direktur IDEAS Yusuf Wibisono mengatakan sebetulnya Indonesia memiliki peluang mencegah covid-19 masuk ke dalam negeri, mengingat posisi geografis Indonesia jauh dari China sebagai episentrum. Sayangnya, momentum ini terlewatkan karena pemerintah kurang tegas menjaga perbatasan.
"Sebagai negara yang posisinya agak jauh dari China sebagai pusat episentrum wabah pertama kali, sebenarnya kita punya peluang, berbagai kesempatan mencegah ini. Sayangnya, itu tidak kita lakukan jadi kita kehilangan golden time," ujarnya dalam diskusi bertajuk Strategi Eliminasi Pandemi, Menuju Negeri Bebas Pandemi, Selasa (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah virus corona masuk ke dalam negeri, ia menilai pemerintah juga kehilangan momentum emas mencegah penyebarannya ke seluruh Indonesia.
Ia mengaku mendorong pemerintah untuk melakukan karantina wilayah (lockdown) di Jabodetabek yang merupakan episentrum penyebaran di Indonesia. Sayangnya, usulan itu tidak mendapat perhatian pemerintah.
"Seharusnya, Jabodetabek sebagai episentrum di-lockdown dan wilayah Jawa lainnya saat itu kami rekomendasikan PSBB," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang cenderung pada pengentasan dampak perekonomian ketimbang kesehatan. Ini tercermin dari alokasi awal dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) lebih besar untuk sektor perlindungan sosial ketimbang kesehatan.
Mulanya, pemerintah mengalokasikan dana untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, sedangkan sektor perlindungan sosial lebih besar mencapai Rp203,9 triliun.
Meskipun, dalam perkembangannya tahun ini lebih banyak alokasi dana untuk sektor kesehatan, yakni Rp173,3 triliun, sedangkan dana perlindungan sosial berkurang menjadi Rp150,21 triliun.
"Pada April 2020, kami kritik fokus pemerintah yang sejak awal pandemi covid-19 memperlihatkan prioritas yang sangat tinggi pada ekonomi dibanding kesehatan, meskipun berbagai jargon menyatakan pemerintah fokus pada kesehatan," terang Yusuf.
Selain itu, ia juga mengkritisi kebijakan adaptasi kebiasaan baru alias new normal yang digemborkan pemerintah. Pasalnya, new normal berlaku saat kasus pandemi covid-19 di Indonesia belum reda.
"New normal ini eksperimen yang berbahaya, kami menyebutnya pertaruhan besar, sudah kami ingatkan pada Juni lalu," jelasnya.
Karena itu, Yusuf mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakan penanganan pandemi dari berdampingan dengan covid-19 menjadi zero (nol) covid-19.
Ia juga menyarankan pemerintah mengikuti langkah sejumlah negara yang memilih strategi keras terhadap covid-19 karena lebih terbukti berhasil mengatasi masalah baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
"Dibandingkan kita yang prioritaskan ekonomi tapi kondisi ekonomi kita hancur-hancuran, lalu pandemi tidak tertangani, makin luar biasa dan ekonomi juga tidak baik," tandasnya.