Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memastikan implementasi kelas standar rawat inap BPJS Kesehatan mulai berlaku tahun depan. Kepala DJSN Tubagus Achmad Choesni mengatakan hal tersebut telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpes) nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.
Meski demikian, implementasinya tetap akan dilakukan secara bertahap. Artinya, peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang kini terbagi menjadi tiga kelas tak serta-merta dilebur ke dalam satu kelas.
Untuk tahap pertama, tiga kelas yang ada saat ini akan dibagi menjadi dua yakni kriteria kelas A dan B. Setelahnya, barulah kelas standar diberlakukan secara penuh dengan menggabungkan kelas A dan B ke dalam satu kelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Saat) transisi kami akan buat kelas A dan kelas B. Tapi kondisi ideal mungkin ada kriteria kelas JKN menjadi satu kelas," ucap Tubagus dalam rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR, Rabu (17/3).
Tubagus melanjutkan, nantinya rumah sakit pemerintah wajib menyediakan minimal 60 persen dari total tempat tidur rawat inap untuk layanan "satu kelas" BPJS Kesehatan tersebut. Sementara untuk rumah sakit swasta, kapasitas minimalnya adalah 40 persen dari seluruh tempat tidur rumah sakit.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, menjalankan mandatori kelas standar tersebut bukan perkara mudah. Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi mengatakan butuh waktu cukup panjang untuk menyiapkan kapasitas minimal tempat tidur rawat inap seperti yang tercantum dalam PP 47/2021.
Terlebih, selain tempat tidur kelas standar, rumah sakit juga wajib menyediakan tempat tidur untuk perawatan intensif dan untuk isolasi masing-masing 10 persen dari total tempat tidur.
"Untuk ruang isolasi mungkin tidak masalah, karena kemarin kami sudah menyiapkan ruang biasa untuk ruang isolasi. Kita sudah menyiapkan itu. Nah, sekarang, kalau ke depan mau kelas standar artinya kami harus persiapkan, tapi kan kami tidak tahu juga nih pandemi ini mau sampai kapan," tutur Ichsan saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, rumah sakit juga tengah mendapat tekanan arus kas akibat menurunnya jumlah pasien non-covid sejak tahun lalu hingga sekarang. Imbasnya, ketersediaan dana untuk memenuhi kapasitas minimum layanan kelas standar juga jadi persoalan.
"Tapi, ya, karena sekarang pembelinya sudah mayoritas BPJS Kesehatan, rumah sakit swasta yang sudah bekerja dengan BPJS tentunya harus mulai adaptasi walaupun mungkin tidak bisa langsung. Misalnya sekian persen dulu untuk kelas standar," imbuhnya.
Hal lain yang menurutnya akan membebani adalah rencana pemberlakuan kelas standar secara bertahap. Sebab, kebijakan itu membuat rumah sakit harus merombak dua kali layanan rawat inapnya.
"Memang hambatan kami (pada) 2022 ini kan kelas standarnya ada dua: PBI (Penerima Bantuan Iuran) sama non-PBI, tapi beberapa tahun kemudian akan dilebur jadi satu. Ini juga yang menurut kami akan berat," jelas Ichsan.
Kemudian, dari aspek kepesertaan, ia juga meragukan apakah nantinya peserta kelas I dan II rela menggunakan fasilitas yang sama dan digabung dengan peserta kelas III serta PBI.
"Apakah sudah dipikirkan apakah orang yang biasanya di kelas I dua tempat tidur satu ruangan, sekarang jadi empat tempat tidur. Orang yang dijamin pemerintah gabung dengan orang yang bayar sendiri?" tambahnya.
Menurut Ichsan, sebaiknya peserta kelas I BPJS tidak turun kelas dengan kebijakan kelas standar, melainkan mendapat penawaran untuk naik ke kelas yang lebih tinggi yakni VIP.
"Kami berharap tarifnya bisa bersaing terus, juga ada dimungkinkan untuk kenaikan kelas. Jadi kalau pasien biasanya kelas I, dia berhak dong di ruangan VIP atau kelas dengan tempat tidur dua dengan sharing, jadi dibuka ruang untuk cost sharing untuk masyarakat yang mampu membayar," jelasnya.