Nah, ketika satu suara tidak bisa didapat usai rapat terbatas di tingkat menko, maka sudah saatnya penentuan impor diambil alih oleh Jokowi. Kepala negara harus mengatasi ego sektoral yang tinggi dari antar pihak dan menekankan bahwa semua 'anak buahnya' harus menjalankan visi misi presiden.
"Masing-masing kementerian dan lembaga yang terlihat saat ini memang mempunyai visinya masing-masing. Padalah harusnya yang ada adalah visi misi presiden. Sayangnya, presiden dalam hal ini tidak mampu menjadi pemimpin orkestra kebijakan yang dapat menyatukan kementerian dan lembaga terkait impor beras ini," tuturnya.
Di sisi lain, Huda menilai kalau pun ada kepentingan pencarian rente dari kebijakan izin impor, maka sudah barang tentu, harus ditutup lagi oleh Jokowi. Jangan sampai kebijakan impor nantinya malah menguntungkan sejumlah pihak yang tak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menteri yang terlibat sudah seharusnya dicopot," imbuhnya.
Bila polemik semakin kusut, Huda menilai tak ada salahnya bila Jokowi juga langsung mencopot pejabat yang bersangkutan. Sebab, akan sulit menjalankan birokasi kalau selalu beda pendapat di internal pemerintah.
"Solusinya yang pertama adalah ganti menteri-menteri Jokowi yang tidak kompeten dan cenderung punya kepentingan pribadi, serta pencari rente," katanya.
Setelah itu, benahi lagi data terkait keputusan impor, mulai dari potensi produksi, produksi berjalan, stok di lapangan dan pasar, posisi CBP Bulog, dan lainnya. Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat terbentuknya Badan Pangan Nasional (BPN), agar ketentuan soal impor atau tidak, bisa satu pemikiran dari hulu ke hilir.
"Sebenarnya bisa jadi solusi itu Badan Pangan Nasional, terlebih jika diisi oleh orang profesional. Pasti akan menjadi cakap strategi pangan nasional kita," jelasnya.
Sebaliknya, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet justru menilai koordinasi mau tidak mau memang wajib cakap di tingkat menteri dan pejabat tanpa perlu ada campur tangan lembaga baru, seperti BPN yang berisiko menambah birokrasi.
"Penambahan institusi seperti badan pangan nasional justru berpeluang menambah alur birokrasi dari kebijakan tata niaga pangan di Indonesia. Saya khawatirnya ini menjadi kurang optimal," kata Yusuf.
Menurut Yusuf, solusi polemik beda kacamata impor ini, suka tidak suka, memang harus diselesaikan di tingkat menko dengan lintas kementerian/lembaga. Tapi, penyelesaiannya harus cepat dan jangan berlarut-larut sampai memunculkan banyak opini publik seperti ini.
"Biar masalah impor pangan ini clear, karena sering kali masalah ini berulang," tuturnya.
Yusuf mengatakan perlu kedewasaan dari masing-masing lembaga agar mau legowo dalam mengambil keputusan bersama. Maka dari itu, ego sektoral harus diminimalisir. Sementara kesepakatan penggunaan satu data harus ditingkatkan.
"Saya kira ini yang perlu disepakti terlebih dahulu sebelum akhirnya menyepakati terkait KPI (key performance indicator) dari masing-masing lembaga. Mungkin untuk lebih pasti ada regulasi yang mengikat terkait penggunan data acuan ini," jelasnya.
Selain itu, menurutnya, perlu ada revitalasi lembaga, khususnya di Bulog. Sebab, idealnya, kata Yusuf, Bulog seharusnya punya peran yang lebih luas untuk mengatur tata kelola pangan di dalam negeri.
Lihat juga:Impor Beras Diklaim Strategi Lawan Mafia |
"Misalnya, Bulog yang menentukan apakah impor pangan dalam hal ini beras perlu dilakukan, Kemendag berfungsi sebagai pelaksana dari kegiatan impor itu sendiri," terangnya.
Yang tak kalah penting adalah menambah fasilitas di Bulog, mulai dari kapasitas gudang, penyerapan gabah petani, alat produksi, dan lainnya.
(agt)