ANALISIS

Ada Pemerintah dan Aturan Dalam Kencangnya Alih Fungsi Lahan

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 30 Mar 2021 08:02 WIB
Pengamat memandang kencangnya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi belakangan ini tak luput dari dukungan aturan dan pemerintah.
Pengamat memandang alih fungsi lahan memang kadang memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Ilustrasi. CNNIndonesia/Ardita Mustafa).

Setali tiga uang, Ekonom sekaligus Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan berpandangan kencangnya laju konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun, sedikit banyak terjadi karena 'lampu hijau' yang diberikan pemerintah.

Bahkan, pemerintah terutama di daerah sering turut membantu investor dan pemilik modal untuk membeli lahan pertanian dari petani. Dan tak jarang karena bantuan pemerintah daerah itu, pembelian lahan merugikan petani dan pada akhirnya menimbulkan konflik agraria.

"Di Indonesia mungkin bisa dibilang parah karena tidak ada regulasi yang benar-benar mengikat," ungkap Anthony.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anthony juga mengakui alih fungsi lahan pertanian jadi industri misalnya, bisa memberi keuntungan bagi pembangunan daerah yang dipimpin seorang gubernur, bupati, atau wali kota. Begitu juga dengan masyarakat sekitar dan petani yang menjual lahan mereka.

Anthony mencontohkan satu hektare sawah memiliki nilai ekonomi Rp25 juta. Nilai ekonomi itu ia tarik dari pemeliharaan hingga lahan tersebut panen.

Ketika itu sudah menjadi pabrik, tentu nilainya akan melebihi itu.

"Kalau dibangun jadi pabrik, tentu outputnya lebih tinggi dari 1 hektare itu, apalagi kalau sudah jadi kawasan industri yang vital dan sibuk," jelasnya.

Itu berbeda jika lahan tetap digunakan untuk bertani. Dari luasan itu, mungkin petani hanya bisa mengantongi Rp10 juta per panen. Kalau panen dalam setahun bisa maksimal sampai tiga kali, maka ia mendapat Rp30 juta per tahun.

Hasil itu sudah termasuk modal yang dikeluarkan petani untuk mengolah dan memelihara lahan, serta ongkos lelahnya menggarap. Melihat hasil itu, tentu petani tergiur menjual lahan mereka.

Mereka bisa mendapat 'uang segar' dalam waktu cepat dan kalau mereka cerdik bisa dikelola lagi untuk modal usaha.

"Jadi dari yang dulunya mungkin dapat Rp2,5 juta per bulan, itu kalau lahan dijual, misal di daerah Cikarang, itu harga satu hektare sudah Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar. Tentu mereka mending jual, bangun warung, bisa kerja lebih santai, tapi tetap dikelola uangnya atau setelah itu mereka kerja di pabrik itu," tuturnya.

Anthony menilai petani tergiur karena selain penghasilan minim, perhatian dari pemerintah untuk mereka juga tak ada. Padahal di negara-negara lain, pemerintahnya berusaha mempertahankan para petaninya agar tetap di pekerjaan mereka.

Petani di luar negeri banyak diberikan subsidi hingga edukasi supaya bisa berinovasi, sehingga kualitas dan kuantitas produksi mereka bisa meningkat. .

"Kalau di sini, bertani ya tidak untung, malah bisa memiskinkan mereka, sehingga memicu untuk dijual. Sedangkan aturannya, juga tidak melarang lahan pertanian dijual, malah mudah untuk konversi sebagai industri," katanya.

Dari sini, Anthony mengatakan perlu kebijakan terintegrasi dari pemerintah. Mulai dari bagaimana cara meningkatkan taraf hidup petani, skema pemberian subsidi dan kerja sama pengembangan pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian yang berkelanjutan, hingga aturan-aturan yang melindungi lahan pertanian.

"Dari subsidi tentu harus diberikan, agar petani tetap mau menjadi petani, begitu juga dengan pendapatan mereka, setidaknya bisa sama dengan upah buruh pabrik. Dari sisi aturan, tentu harus diperketat dan perlu ada pemetaan jelas, mana yang sebenarnya boleh dijual dan tidak," pungkasnya.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER